Berikan Kuliah Politik Hukum Program Doktor, Bamsoet Ingatkan Pentingnya Pembenahan Partai Politik

*JAKARTA* – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan partai politik memegang peran sangat penting dalam menentukan arah kebijakan negara. Baik di tingkat legislatif DPR RI maupun DPRD, eksekutif, hingga yudikatif. Karenanya, untuk membenahi berbagai persoalan bangsa, harus dimulai dengan pembenahan partai politik yang merupakan hulu demokrasi.

“Partai politik sebagai tulang punggung demokrasi menjadi titik pangkal paling penting bagi proses terciptanya penyelenggaraan negara yang baik. Semakin kuat dan sehatnya kondisi partai politik, semakin memudahkan terwujudnya hilir demokrasi berupa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,” ujar Bamsoet saat memberikan kuliah ‘Pembaharuan Hukum dan Politik Hukum’ Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, di Jakarta, Sabtu (30/3/24).

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menyinggung tingginya biaya politik sebagai akibat dari sistem politik secara terbuka yang diterapkan dan tidak jarang membuat para politisi terjebak dan berakhir pada kasus korupsi. Politik biaya tinggi ini rentan terhadap ketahanan nasional. Karena partai politik yang merupakan dapur kebijakan negara, dapat dikuasai oleh para pemilik modal yang bisa saja memiliki agenda di luar agenda NKRI dan meraih cita-cita nasional yang berparadigma Pancasila.

“Menjadi ketua umum partai politik saat ini tidak cukup hanya memiliki wawasan kebangsaan, kemampuan memimpin dan pengetahuan lebih, namun juga dituntut harus memiliki modal yang cukup untuk mendapat dukungan suara. Disinilah celah para pemilik modal untuk memiliki pengaruh melalui partai politik dengan memberikan dana politik kepada calon ketua umum partai poltik. Jika ketua umum partai politik tersebut sudah menjadi bagian dari jaringan kerajaan bisnisnya, maka secara tidak langsung dia akan memiliki pengaruh atau terhadap kebijakan partai politik tersebut atas pembahasan undang-undang di parlemen. Termasuk dalam hal ikut mewarnai, saat partai politik atau kumpulan partai akan memilih siapa calon pemimpin nasional maupun kepala daerah yang akan diusung,” kata Bamsoet.

Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD dan Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Trisakti serta Dosen Pascasarjana Universitas Pertahanan Nasional (UNHAN) RI ini menuturkan, jika pemilik modal yang membiayai seseorang menjadi ketua umum partai politik memiliki semangat yang sama yaitu meraih cita-cita nasional dengan paradigma Pancasila, maka hal itu tentu tidak masalah. Namun, jika pemilik modal hanya bertujuan mengeruk keuntungan pribadi atau membawa kepentingan asing yang bertentangan dengan cita-cita nasional akan sangat berbahaya.

Berdasarkan asumsi bahwa politik determinan atas hukum sehingga hukum adalah produk politik, maka tesis atau teori tentang politik hukum di Indonesia adalah konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan hukum responsif atau populistik. Begitu juga sebaliknya, konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang konservatif atau ortodoks atau elitis.

“Secara das sein, ketika hukum diartikan sebagai undang-undang, maka hukum merupakan produk politik. Hukum dibentuk oleh lembaga legislatif sehingga dapat diartikan bahwa hukum merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik. Sehingga perlu diperhatikan bahwa hukum bukanlah suatu lembaga yang otonom, melainkan saling berkaitan dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat, salah satunya adalah partai politik,” pungkas Bamsoet. (*)

Berikan Kuliah Politik Hukum Program Doktor, Ketua MPR RI Bamsoet Ajak Kaji Sistem Demokrasi Pemilihan Langsung

*JAKARTA* – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur Bambang Soesatyo mengajar mata kuliah Politik Hukum dan Kebijakan Publik kepada para mahasiswa S3 Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Borobudur. Terdiri dari lintas profesi seperti Anggota DPRD, pengacara, guru, hingga personel TNI-Polri.

Salah satu latar belakang (raison d’etre) lahirnya disiplin politik hukum adalah karena rasa ketidakpuasan para teoritis hukum terhadap model pendekatan hukum yang telah ada. Sejak era Yunani kuno hingga saat ini, studi hukum mengalami dinamika pasang surut, perkembangan, dan pergeseran, terutama berkaitan denganppplpp metode pendekatannya. Disebabkan perubahan struktur sosial yang dipengaruhi modernisasi dan industrialisasi, politik, ekonomi dan pertumbuhan piranti lunak berbagai ilmu pengetahuan.

“Politik hukum timbul sebagai disiplin ilmu hukum ditengah kebuntuan metodologis dalam memahami kompleksitas hubungan antara hukum dengan politik. Untuk memahami Poltik hukum sebuah negara, bisa dilihat dari sikap pemerintahannya dalam menentukan kebijakan yang dipertahankan, diganti, maupun yang dihapuskan. Setiap kebijakan yang diambil, pasti melahirkan pro dan kontra. Sehingga tidak akan pernah ditemui situasi yang ideal terhadap kondisi politik hukum sebuah negara. Pasti akan ada dinamika yang menyertainya,” ujar Bamsoet saat mengajar mata kuliah Politik Hukum dan Kebijakan Publik, Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana di Kampus Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (30/9/23).

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, salah satu perubahan fundamental yang pernah diambil bangsa Indonesia dalam politik hukum bisa terlihat dari perubahan sistem ketatanegaraan terkait perubahan sistem pemilihan Presiden-Wakil Presiden. Dari pemilihan secara musyawarah mufakat oleh MPR RI sebagai pengejawantahan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sebagaimana tertuang dalam Sila ke-4 Pancasila, berubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.

“Begitupun dengan pemilihan anggota legislatif serta kepala daerah yang juga langsung dipilih oleh rakyat. Perubahan ini, ternyata menimbulkan banyak persoalan, khususnya terkait moral hazard dalam bentuk money politic, yang menimbulkan high cost politic. Demokrasi perwakilan sesuai sila ke-4 Pancasila, menjadi terjebak dalam demokrasi angka-angka yang menjurus kepada demokrasi komersialisasi dan kapitalisasi, dan berujung kepada oligarki,” jelas Bamsoet.

Pendiri dan Ketua Pembina Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA) serta Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menambahkan, tidak heran jika kini muncul pandangan agar pemilihan langsung hanya dilakukan untuk Presiden, Anggota Legislatif, serta Walikota/Bupati. Sedangkan untuk Gubernur ditunjuk pemerintah pusat, mengingat posisinya merupakan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Terlebih dalam pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis”, bukan ditegaskan harus dipilih langsung oleh rakyat.

Sudah menjadi rahasia umum, selama ini Gubernur kesulitan mengundang rapat koordinasi Bupati/Walikota dibawahnya karena berbagai hal, seperti perbedaan partai politik maupun perbedaan pandangan politik lainnya. Menariknya, keberadaan PLT Gubernur saat ini yang ditunjuk pemerintah pusat, justru lebih mudah melakukan koordinasi dengan Bupati/Walikota dibawahnya.

“Sikap politik hukum apapun yang nantinya diambil bangsa Indonesia terkait pemilihan gubernur, maupun dalam pengambilan kebijakan kenegaraan lainnya, pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Terpenting sebelum sebuah kebijakan diambil, sudah terlebih dahulu mendengarkan aspirasi dan kehendak rakyat yang disalurkan melalui partai politik, organisasi sosial kemasyarakatan, hingga melibatkan praktisi dari berbagai perguruan tinggi,” pungkas Bamsoet. (*)

Tidak Ada Lagi Postingan yang Tersedia.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.