Patrolihukum.net//Sidoarjo – Dalam lanjutan persidangan perkara dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang melibatkan pasangan suami istri, Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminuddin, pada Kamis, 07 November 2024, Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menghadirkan dua saksi kunci, yaitu Zulmi Noor Hasani dan Dini Rahmania. Keduanya dihadirkan untuk memberikan keterangan terkait dakwaan terhadap orang tua mereka yang terjerat kasus gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang berlangsung dari tahun 2013 hingga Agustus 2021. Total nilai transaksi yang terlibat mencapai Rp150,2 miliar.
Puput Tantriana Sari, mantan Bupati Probolinggo periode 2013–2018 dan 2018–2023, serta suaminya Hasan Aminuddin, mantan Bupati Probolinggo (2003–2013) dan Anggota DPR RI (2014–2024), didakwa dengan melakukan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan sejumlah transaksi pembelian tanah dan bangunan. Keduanya juga diduga menyembunyikan sumber kekayaan yang berasal dari tindakan korupsi terkait dengan jabatan mereka.
Dalam surat dakwaan JPU KPK, disebutkan bahwa Zulmi Noor Hasani, yang merupakan salah satu saksi yang dihadirkan, terlibat dalam pembelian beberapa bidang tanah yang diduga menggunakan uang hasil dari tindak pidana korupsi. Salah satunya adalah pembelian tanah seluas 3.316 m² di Kelurahan Sidomukti, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo pada bulan Agustus 2014, dengan harga yang tercatat dalam akta jual beli hanya Rp275 juta, padahal harga sesungguhnya mencapai Rp400 juta. Pembayaran dilakukan secara tunai dan dilakukan atas nama Zulmi Noor Hasani.
Selain itu, pada Maret 2016, Zulmi Noor Hasani juga tercatat membeli tanah seluas 17.485 m² di Desa Asembakor, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, dengan harga yang tercatat hanya Rp250 juta, padahal harga sebenarnya mencapai Rp1,8 miliar. Pembelian tanah tersebut dilakukan secara tunai dengan bukti kepemilikan atas nama Zulmi Noor Hasani.
Dini Rahmania, anak dari terdakwa Hasan Aminuddin dari istri pertamanya, juga terlibat dalam transaksi tanah yang menjadi bagian dari kasus ini. Salah satunya adalah pembelian tanah seluas 107 m² pada Februari 2013, yang tercatat hanya Rp15 juta, namun harga sesungguhnya mencapai Rp140 juta. Pembelian tersebut dilakukan atas nama Dini Rahmania.
Tak hanya itu, dalam dakwaan juga diungkapkan sejumlah transaksi pembelian tanah lainnya yang dilakukan oleh pasangan ini, yang melibatkan uang hasil korupsi yang kemudian disamarkan untuk menyembunyikan asal-usul harta mereka. Salah satunya adalah pembelian tanah pada 31 Juli 2017 di Surabaya dengan harga tercatat Rp1 miliar, padahal harga sebenarnya adalah Rp1,875 miliar. Pembayaran dilakukan secara bertahap.
Dalam perkara ini, JPU KPK juga mengungkapkan bahwa terdakwa menggunakan uang hasil korupsi untuk membeli berbagai aset, termasuk tanah, kendaraan, hingga polis asuransi dan emas. Jumlah total kekayaan yang diduga hasil tindak pidana korupsi tersebut mencapai lebih dari Rp106 miliar, yang sebagian besar disembunyikan dengan berbagai cara agar tidak terdeteksi.
Kasus ini mencuat sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi yang sedang digencarkan oleh KPK, khususnya terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat publik, termasuk penggunaan dana negara untuk kepentingan pribadi. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya akan melanjutkan persidangan ini untuk menggali lebih dalam keterlibatan para pihak yang terlibat dalam praktik korupsi dan pencucian uang ini. (Tim/Red/**)