Breaking news // Nagan Raya, 24 Juli 2025 — Di tengah gelombang investasi perkebunan kelapa sawit yang telah berlangsung lebih dari dua dekade di Kabupaten Nagan Raya, Aceh, muncul ironi besar: puluhan perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) belum merealisasikan kebun plasma untuk rakyat, meski itu merupakan kewajiban legal yang tertuang dalam berbagai regulasi nasional.
Ketiadaan kebun plasma ini memicu kemarahan masyarakat, terutama kelompok pegiat agraria, karena dianggap sebagai bentuk pengabaian hak rakyat dan pelecehan terhadap aturan perundang-undangan.

Plasma: Kewajiban Hukum yang Diabaikan
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat, setiap perusahaan pemegang HGU diwajibkan menyediakan minimal 20 persen dari total luas lahan yang mereka kuasai untuk kebun plasma masyarakat. Ketentuan ini ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Namun di Nagan Raya, kenyataan berbicara lain. Berdasarkan laporan investigasi dan kesaksian warga, hingga kini tidak satu pun perusahaan sawit yang benar-benar menunaikan kewajiban plasma tersebut.
“Ini pengkhianatan terhadap undang-undang dan keadilan sosial. Tanah-tanah rakyat diambil, tapi kewajiban plasma tak kunjung ditepati. Ini bukan hanya abai, tapi bentuk nyata perampasan hak,” ujar Faizal, tokoh masyarakat dan pegiat agraria lokal, saat diwawancarai pada Rabu (24/7).
Potensi Luas, Rakyat Tetap Terpinggirkan
Menurut data Dinas Perkebunan Provinsi Aceh, luas areal perkebunan sawit di Nagan Raya telah melampaui 90.000 hektare. Artinya, jika regulasi dijalankan, setidaknya sekitar 18.000 hektare seharusnya sudah diberikan kepada masyarakat dalam bentuk kebun plasma.
Namun, data di lapangan menunjukkan nihilnya realisasi. Tidak ada laporan resmi maupun pengakuan publik dari perusahaan yang menunjukkan komitmen menjalankan skema kemitraan plasma tersebut.
“Plasma itu bukan sedekah, tapi hak masyarakat. Tapi kenyataannya, rakyat lokal bahkan tidak diberi akses kerja layak di kebun-kebun yang dulu adalah tanah mereka sendiri,” ujar Faizal dengan nada geram.
Pemerintah Daerah dan APH Dinilai Lalai
Ketiadaan realisasi plasma ini juga membuka pertanyaan besar terkait peran Pemerintah Kabupaten Nagan Raya, Dinas Perkebunan, serta aparat penegak hukum (APH) dalam menegakkan regulasi dan melindungi hak rakyat.
Faizal menuding Pemkab Nagan Raya terlalu lunak, bahkan terkesan tutup mata terhadap kewajiban perusahaan. Padahal, menurutnya, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk merekomendasikan pencabutan izin atau HGU kepada pemerintah pusat.
“Jika pemerintah serius, mereka bisa bersurat ke Kementerian ATR/BPN atau menindak melalui sanksi administratif sesuai Surat Edaran Menko Perekonomian Nomor TAN.03/128/M.EKON/11/2020. Tapi sampai hari ini, nihil tindakan,” jelas Faizal.
LSM GMBI: Diduga Ada Pembiaran dan Bekingan
Menanggapi kondisi ini, Ketua Distrik LSM GMBI Nagan Raya angkat bicara. Ia menuding ada kemungkinan besar bahwa perusahaan-perusahaan perkebunan sawit ini “dibekingi” oleh oknum kuat, baik di lingkaran birokrasi maupun aparat penegak hukum.
“Kalau tak ada bekingan, tak mungkin perusahaan bisa semena-mena melanggar aturan puluhan tahun tanpa sanksi. Ini potensi korupsi sistemik. Negara seolah kalah di hadapan korporasi,” tegasnya.
Ia juga mendesak Kejaksaan, KPK, dan Komnas HAM untuk turun tangan mengusut dugaan pelanggaran hak ekonomi dan sosial masyarakat Nagan Raya.
Keadilan Sosial Masih Jauh dari Realita
Skema plasma dirancang sebagai solusi pemerataan hasil ekonomi dari aktivitas perkebunan. Tujuannya agar masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tapi ikut menikmati hasil dari tanah yang mereka tinggali turun-temurun.
Sayangnya, di Nagan Raya, janji itu hanya tinggal dokumen di atas kertas.
“Kalau plasma saja tidak ditepati, lantas apa kontribusi nyata perusahaan terhadap kesejahteraan rakyat? Jangan sampai investasi hanya menjadi berkah bagi korporasi, tapi kutukan bagi warga lokal,” pungkas Faizal dengan nada prihatin.
Catatan Redaksi:
Hingga berita ini diturunkan, pihak redaksi masih berusaha menghubungi Pemkab Nagan Raya, Dinas Perkebunan Provinsi Aceh, serta perwakilan dari sejumlah perusahaan sawit guna mendapatkan klarifikasi dan tanggapan resmi terkait persoalan ini.
Pewarta: (Edi D/Red)
Editor: Editor MPH