Patrolihukum.net // Lamongan — Dua proyek infrastruktur rabat beton yang dibiayai dari Dana Desa tahun anggaran 2025 di Desa Sumurgenuk, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan, kini tengah menjadi sorotan tajam. Proyek yang sejatinya bertujuan meningkatkan akses dan kualitas infrastruktur desa itu justru menimbulkan kecurigaan publik, terutama karena pola pelaksanaannya yang dianggap janggal.
Berdasarkan data yang dihimpun, dua proyek tersebut masing-masing menelan anggaran sebesar Rp195 juta dan Rp110 juta. Proyek pertama memiliki volume 124,50 x 3,50 x 0,20 meter, sementara proyek kedua berukuran 70 x 3,50 x 0,20 meter. Jika digabungkan, total anggaran yang dikucurkan mencapai Rp305 juta. Yang mencolok, kedua proyek tersebut dikerjakan di lokasi yang sama dan dalam waktu yang hampir bersamaan.

Keduanya dilaksanakan melalui mekanisme swakelola, di mana proyek-proyek dengan nilai di bawah Rp200 juta dapat dikerjakan langsung oleh Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) desa tanpa keterlibatan konsultan perencana, pengawas independen, atau pendamping teknis dari tingkat kabupaten. Inilah yang memunculkan dugaan bahwa telah terjadi pemecahan proyek secara administratif guna menghindari mekanisme pengawasan teknis yang lebih ketat.
“Ini sudah menjadi modus umum di desa-desa. Proyek besar sengaja dipecah agar tetap di bawah ambang batas Rp200 juta. Dengan begitu, bisa dikerjakan swakelola tanpa pengawasan ketat. Spesifikasi teknis pun bisa dimainkan,” ujar Aris Gunawan, Ketua LSM Forum Pemantau Sosial Reformasi (FPSR), saat dikonfirmasi.
Kekhawatiran tersebut tampaknya bukan isapan jempol. Saat tim investigasi FPSR turun langsung ke lapangan pada Jumat (16/5/2025), ditemukan kondisi fisik rabat beton yang sudah mengalami kerusakan meski belum berusia dua bulan. Retakan membujur dan menyilang terlihat jelas di beberapa titik badan jalan.
Menurut kajian teknis, keretakan pada beton dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Di antaranya adalah mutu material yang rendah, komposisi campuran yang tidak sesuai standar (misalnya terlalu banyak air atau kurang semen), pengerjaan yang tidak menggunakan alat pemadat memadai, serta minimnya proses perawatan (curing) setelah pengecoran. Kerusakan juga lebih mungkin terjadi jika tidak ada tulangan logam seperti wiremesh yang berfungsi menahan gaya tarik dan tekanan.
Hingga berita ini ditulis, Kepala Desa Sumurgenuk belum dapat dimintai keterangan. Saat disambangi, yang bersangkutan tidak berada di kantor desa. Pihak pemerintah desa pun belum memberikan penjelasan resmi mengenai dugaan pemecahan proyek serta kualitas fisik rabat beton yang dinilai sangat mengecewakan.
Kasus ini menambah deretan persoalan dalam pengelolaan Dana Desa yang belakangan kerap disorot publik. Para pemerhati anggaran meminta agar pihak Inspektorat Kabupaten Lamongan dan Aparat Penegak Hukum segera turun tangan melakukan audit dan investigasi menyeluruh.
“Dana Desa adalah instrumen penting untuk pembangunan desa yang berkualitas. Kalau praktik seperti ini dibiarkan, rakyat yang akhirnya menanggung akibatnya,” tegas Aris Gunawan.
Pemerintah Kabupaten Lamongan maupun pihak Kecamatan Babat diharapkan segera mengambil langkah konkret dalam menindaklanjuti laporan ini, guna menjamin transparansi, akuntabilitas, dan kualitas pembangunan desa yang lebih baik di masa depan.
(Tim/Red/**)