Patrolihukum.net, Banyumas,–Diduga melanggar aturan hukum, KSP Primkoppabri Capem Kembaran menjadi sorotan publik usai melakukan penarikan paksa sepeda motor milik nasabah di jalan raya. Ironisnya, penarikan dilakukan oleh enam orang debt collector, disertai tindakan intimidatif yang membuat korban merasa tertekan dan terancam.(1/7/2025).
Saat dikonfirmasi, salah satu pegawai KSP Primkoppabri, berinisial EK, membenarkan penarikan tersebut.
“Iya, betul yang kemarin menarik unit di jalan itu dari pihak ketiga. Kami bekerjasama untuk eksekusi penarikan unit di lapangan. Dan sudah saya tebus untuk biaya penarikannya. Nasabah harus melunasi pinjaman pokok ditambah biaya penarikan sebesar Rp1.100.000 agar unit bisa diambil kembali,” ujar EK kepada tim media.

Padahal, penarikan kendaraan tidak bisa dilakukan sembarangan, terlebih jika dilakukan di jalanan umum tanpa menunjukkan sertifikat jaminan fidusia. Hal ini menabrak Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang mewajibkan proses eksekusi dilakukan dengan dasar hukum yang sah dan terdaftar secara resmi.
Jika penarikan dilakukan tanpa sertifikat fidusia, maka koperasi tidak memiliki hak eksekusi sepihak terhadap objek jaminan. Tindakan ini bahkan berpotensi masuk dalam kategori perampasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP.
Lebih lanjut, dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, setiap konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan jasa—yang dalam hal ini, telah dilanggar oleh oknum koperasi tersebut.
Langkah Hukum yang Bisa Ditempuh:
1. Pengaduan ke OJK dan BPKN atas dugaan pelanggaran perlindungan konsumen.
2. Laporan ke kepolisian atas dugaan perampasan kendaraan.
3. Gugatan ke Pengadilan Negeri terkait perbuatan melawan hukum.
4. Mediasi ke BPSK sebagai upaya penyelesaian sengketa non-litigasi.
Kasus ini kini mendapat perhatian dari masyarakat, termasuk lembaga pengawas seperti Dinnakerkop UKM, OJK, dan BPKN Kabupaten Banyumas, yang diharapkan segera turun tangan menyelidiki apakah koperasi tersebut telah memenuhi prosedur fidusia yang sah atau tidak.
Publik kini menunggu kejelasan dan keadilan, agar praktik-praktik penarikan paksa semacam ini tidak kembali terjadi di wilayah hukum Indonesia.**(Tim Redaksi).