Patrolihukum.net // Kota Probolinggo — Di sudut Jalan Mastrip, tepat di utara Pasar Wonoasih, aroma gurih nasi uduk menyeruak setiap pagi. Warung sederhana berdiri berdampingan dengan penjual bunga dan bekas kantor Dinas Perhubungan (Dishub) Wonoasih itu tampak selalu ramai. Tak heran, karena di sanalah “Nasi Uduk Putra Wonoasih” legendaris milik Pak Saeran, menjadi buruan warga setiap pagi.
Warung bongkar-pasang berukuran kecil itu mulai buka sejak pukul 06.00 WIB. Tak perlu menunggu lama, hanya dalam hitungan jam nasi uduk racikan tangan Pak Saeran itu sudah ludes diserbu pembeli. Menu yang ditawarkan sederhana namun menggugah selera — nasi uduk hangat lengkap dengan telur bali, tahu dan tempe goreng kecap (kering), perkedel kentang, bihun, sisiran mentimun, dan sambal khas yang pedasnya pas.


Semangkuk air mineral pun disediakan untuk melengkapi kehangatan sarapan pagi di warung yang ramai itu. Semua bisa dinikmati hanya dengan Rp8.000 — harga yang sangat bersahabat di tengah tingginya biaya hidup saat ini.
“Saya masak bersama dengan istri setiap pagi. Alhamdulillah masih kuat meski sudah tua,” ujar Pak Saeran, dengan senyum ramah yang khas.
Dari Pegawai Dinas Kesehatan Jadi Peracik Nasi Uduk
Siapa sangka, di balik tangan terampil itu, Pak Saeran dulu bukanlah seorang pedagang. Lelaki kelahiran Blitar ini merupakan mantan pegawai Dinas Kesehatan. Setelah pensiun, ia memutuskan untuk menekuni dunia kuliner dengan membuka warung nasi uduk — awalnya hanya sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang.
Namun tak disangka, racikan nasi uduknya justru menjadi favorit banyak warga. Kini, di usia 75 tahun, dengan 6 anak dan 11 cucu, Pak Saeran tetap terlihat bugar dan energik. Setiap pagi ia sudah sibuk menyiapkan bumbu dan lauk sebelum subuh tiba.
“Dulu awalnya coba-coba saja, ternyata banyak yang suka. Sampai sekarang alhamdulillah tetap laku,” ujarnya sambil menata lauk di atas piring-piring rotan kecil.
Warung Sederhana, Cita Rasa Tak Tergantikan
Meski tampil sederhana, Nasi Uduk Putra Wonoasih telah menjadi kuliner wajib pagi hari bagi warga sekitar, mulai dari pekerja pasar, pegawai kantoran, hingga pelajar. Banyak pembeli yang mengaku sudah bertahun-tahun menjadi pelanggan tetap.
Salah satu pelanggan, Rini (38), mengatakan dirinya hampir setiap pagi mampir untuk membeli nasi uduk Pak Saeran.
“Rasanya khas, sambalnya mantap, dan harganya murah banget. Kalau kesiangan, bisa kehabisan,” ujarnya sambil tertawa.
Cita rasa yang konsisten dan suasana hangat di warung kecil itu membuat nasi uduk Pak Saeran bukan sekadar menu sarapan, tetapi juga bagian dari kisah keseharian warga Wonoasih.
Warisan Kuliner yang Layak Dijaga
Kini, di usia senjanya, Pak Saeran berharap ada salah satu anak atau cucunya yang kelak mau meneruskan usaha sederhana ini. “Kalau saya sudah tidak kuat lagi, semoga ada yang nerusin. Sayang kalau sampai hilang,” ucapnya pelan.
Warung “Nasi Uduk Putra Wonoasih” bukan hanya tempat makan — tapi juga simbol ketekunan, kerja keras, dan dedikasi tanpa henti dari seorang pensiunan yang memilih untuk tetap produktif di masa tuanya.
Di tengah deru kendaraan di Jalan Mastrip setiap pagi, aroma nasi uduk buatan Pak Saeran terus mengingatkan warga bahwa kelezatan sejati tak selalu datang dari restoran besar, tetapi bisa dari sepinggan sederhana yang dibuat dengan sepenuh hati.
(Bambang/Red/*)
















