Dituding sebagai bentuk kriminalisasi wartawan dan intervensi kebebasan pers
Patrolihukum.net, BANGGAI LAUT — Sebuah aksi kontroversial dilakukan oleh sekelompok individu yang mengatasnamakan diri sebagai keluarga Bupati Banggai Laut pada Sabtu, 21 Juni 2025, di halaman Polsek Banggai Kepulauan. Mereka datang dengan tuntutan keras terhadap pemberitaan yang menyoroti dugaan penyelewengan anggaran dan perbuatan melawan hukum di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banggai Laut, yang sebelumnya telah dipublikasikan oleh puluhan media massa nasional maupun lokal.

Yang mengundang perhatian adalah kehadiran sejumlah pejabat publik dalam aksi tersebut. Teridentifikasi hadir antara lain Kepala Desa Bonebaru, Kepala Desa Koloni, Kabag ULP, Kabid PMD, Kadis LH Steven Musa, Fadli Lapene dari Kominfo bagian Statistik, Kabid Deteksi Dini Kesbangpol, hingga Anggota DPRD Banggai Laut Moh. Hidayat Abas. Kehadiran mereka memunculkan pertanyaan serius soal netralitas birokrasi serta dugaan penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan personal dan politik.
Dalam orasi yang disampaikan, para peserta aksi secara terbuka meminta agar pihak kepolisian memproses hukum wartawan yang telah memberitakan dugaan korupsi tersebut. Tuntutan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis media dan pegiat kebebasan pers karena dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap jurnalis yang menjalankan tugas sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Seorang narasumber yang enggan disebutkan identitasnya menyatakan bahwa klarifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Banggai Laut terhadap berita-berita tersebut justru menunjukkan kejanggalan. “Klarifikasi itu tidak dilakukan secara terbuka dan tidak melibatkan media yang pertama kali mempublikasikan dugaan penyelewengan. Justru mereka hanya menyebarkan klarifikasi ke media-media yang mereka pilih,” ungkapnya.
Narasumber tersebut juga menambahkan bahwa banyak peserta aksi memiliki afiliasi langsung dengan kekuasaan dan proyek-proyek daerah. “Beberapa yang hadir itu kontraktor dan pejabat aktif. Jadi sangat wajar jika publik melihat ini sebagai tekanan terhadap media yang berani mengkritik pemerintah daerah,” tegasnya.
Sebagai informasi, dalam Pasal 5 Ayat (2) dan (3) UU Pers disebutkan bahwa pers wajib melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi. Artinya, apabila ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, jalur yang benar adalah menggunakan hak tersebut, bukan dengan cara demonstrasi di kantor polisi apalagi menuntut kriminalisasi wartawan.
Ironisnya, dalam aksi tersebut, tidak ada bukti kuat yang disertakan untuk membantah isi pemberitaan yang telah beredar. Pemerintah justru menggelar semacam konferensi pers sepihak tanpa memberi ruang kepada media yang dianggap “berseberangan” untuk mengklarifikasi atau bahkan berdiskusi secara terbuka.
Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa aksi tersebut merupakan bagian dari upaya sistematis membungkam pers yang kritis dan mengganggu kenyamanan kekuasaan lokal. Aktivis media pun menilai bahwa hal ini mencerminkan lemahnya komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan transparansi di daerah.
“Jika ini dibiarkan, maka ke depan siapa pun yang mengungkap kasus atau melakukan investigasi bisa saja dilaporkan dan ditekan secara psikologis maupun politis,” ujar seorang pegiat media lokal.
Publik kini menunggu respons dari lembaga-lembaga pengawas dan Pemerintah Pusat terhadap kejadian ini. Banyak yang mendesak agar Kementerian Dalam Negeri, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), hingga Dewan Pers turun tangan dan melakukan investigasi menyeluruh atas dugaan penyelewengan anggaran serta tekanan terhadap kebebasan pers yang terjadi di Banggai Laut.
Jika tidak segera ditangani, kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk dalam upaya perlindungan terhadap wartawan serta penegakan prinsip demokrasi dan supremasi hukum di tingkat lokal.
(Tim Redaksi/**)