LAMONGAN, Breaking news – Bau Busuk Korupsi dari Gudang Alat Pertanian
Oleh Redaksi | 23 Juli 2025
Skandal baru kembali mencuat dari tubuh Dinas Pertanian Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Kali ini bukan sekadar isu administrasi, melainkan dugaan korupsi serius yang menyeret bantuan negara berupa satu unit alat produksi pertanian berteknologi tinggi, senilai hampir Rp 200 juta.

Alat tersebut—mesin PR1800 buatan Pindad—diberikan sebagai bantuan dari pemerintah pusat dalam program peningkatan ketahanan pangan nasional. Alat ini seharusnya digunakan oleh kelompok tani jagung untuk mendongkrak produktivitas mereka. Namun, alih-alih digunakan untuk membajak lahan, mesin itu justru “raib” tanpa jejak jelas dan kemudian ditemukan dalam kondisi mangkrak di Jombang.
Pengungkapan kasus ini dimulai dari keterangan mengejutkan Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian (Kabid PSP) Dinas Pertanian Lamongan, Zanuar. Ia mengungkap bahwa persoalan ini sebenarnya sudah dilaporkan ke Polres Lamongan sejak tahun 2022. Namun hingga kini, nyaris tak ada perkembangan signifikan dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian.
“Sudah di-LP-kan ke Polres, tapi sampai sekarang masih diam. Tidak ada kejelasan proses hukumnya,” ucap Zanuar kepada awak media dengan nada kecewa.
Lebih lanjut, dokumen internal dinas menunjukkan bahwa mesin PR1800 tersebut sempat diserahkan kepada seseorang bernama Santoso, yang disebut-sebut menerima alat itu pada 14 April 2021. Namun anehnya, nama Santoso tidak tercantum dalam daftar penerima resmi bantuan pemerintah.
“Waktu itu yang mengurus adalah Kabid PSP, Bu Tiwi (Hartiwi Sisri Utami). Yang ngambil Peni,” ujar salah satu sumber internal yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Skema penyerahan bantuan yang janggal ini memunculkan berbagai dugaan: mulai dari penyalahgunaan kewenangan, praktik pungli, hingga indikasi bahwa mesin tersebut digadaikan untuk keuntungan pribadi oknum pejabat. Jika benar, maka kasus ini telah menjelma menjadi tragedi pengkhianatan terhadap amanat rakyat.
Pelanggaran Berat dan Dugaan Kejahatan Terstruktur
Dalam konteks hukum, praktik seperti ini bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasalnya, aset negara digunakan di luar peruntukannya, dan secara jelas telah merugikan keuangan negara serta masyarakat tani yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama.
“Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur. Ada dugaan kuat bahwa alat negara telah dijadikan komoditas pribadi. Dan lebih parah, hukum tidak segera bertindak,” ungkap pengamat kebijakan publik dari Universitas Airlangga, Dr. Arif Suryanto.
Menurutnya, skandal ini mencerminkan buruknya sistem pengawasan internal serta lemahnya pengendalian distribusi bantuan di dinas-dinas teknis daerah. Ia menegaskan, jika tidak ada pembenahan dan sanksi tegas, kejadian serupa akan terus berulang.
Desakan Masyarakat dan Sorotan Lembaga Antikorupsi
Masyarakat Lamongan, terutama para petani dan aktivis antikorupsi, kini mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turun tangan. Mereka menilai, kasus ini sudah melewati batas dan tidak cukup jika hanya diserahkan pada penegak hukum lokal yang dinilai lamban.
“Kalau Polres tidak sanggup, maka KPK harus masuk. Ini sudah sangat terang benderang,” tegas Ali Mahmudi, Ketua Aliansi Petani Lamongan Bersatu (APLB).
Ali juga menyebutkan bahwa pihaknya akan segera melayangkan laporan resmi ke Ombudsman RI dan KPK, agar ada audit menyeluruh terhadap pengelolaan bantuan alat pertanian selama lima tahun terakhir.
Jejak Oknum dan Misteri ‘Santoso’
Publik juga mempertanyakan peran “Santoso” yang muncul dalam dokumen penerimaan. Apakah ia benar-benar petani, atau hanya nama pinjaman dari jaringan oknum dinas yang hendak memuluskan praktik gelap ini?
Begitu pula dengan keterlibatan para pejabat seperti Kabid PSP sebelumnya, yang disebut-sebut mengetahui keberadaan alat dan siapa yang mengambilnya. Sampai hari ini, belum ada satu pun pejabat Dinas Pertanian yang dikenai sanksi disiplin atas raibnya aset negara tersebut.
Catatan Akhir: Jangan Biarkan Hukum Tak Bertaji
Skandal ini harus menjadi momentum bersih-bersih di tubuh birokrasi daerah. Petani tidak butuh janji, mereka butuh keadilan. Alat yang dibeli dengan uang negara bukan untuk digadaikan, tapi untuk bekerja demi rakyat. Jika hukum masih punya taring, inilah waktunya menggigit.
Lamongan, yang dikenal sebagai lumbung pangan nasional, tidak boleh berubah menjadi ladang subur bagi korupsi.
Redaksi akan terus mengikuti perkembangan kasus ini. Publik berhak tahu, dan keadilan tidak boleh diam.
(Redaksi | Editor: Edi D)