Breaking news // PATI, 23 Juli 2025 – Gelombang protes baru dipersiapkan belasan ribu warga Kabupaten Pati untuk menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB‑P2) serta pengenaan pajak terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL). Aksi ini merupakan jilid kedua setelah mahasiswa dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Pati menggelar demo serupa pada 3 Juni 2025. Meski tuntutan mahasiswa kala itu tak dihiraukan, inisiator baru berharap pemerintah daerah mau membuka pintu dialog sebelum unjuk rasa berlangsung pada 13 Agustus 2025.
Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, yang dipimpin oleh Ahmad Husain, naik panggung sebagai koordinator aksi damai. “Gerakan ini lahir karena aspirasi demo mahasiswa pada Juni lalu tidak pernah mencapai meja pemerintah,” ujar Ahmad saat ditemui di rumahnya di Kecamatan Pucakwangi. Ia bersama sejumlah mahasiswa mendesain dan menyebarkan flayer digital lewat platform media sosial untuk menggalang massa. “Ternyata antusias warga melebihi ekspektasi, ribuan netizen turut mendukung ajakan kami,” tambahnya.

Menurut rilis yang diterima media, Aliansi Masyarakat Pati Bersatu telah menyiapkan seluruh logistik dan formasi massa yang akan berkumpul di depan Kantor Pemkab Pati pada 13 Agustus mendatang. Para peserta akan membawa spanduk, poster tuntutan, serta melakukan orasi secara bergantian. “Kami datang untuk menagih janji Pak Bupati Sudewo yang semasa kampanye menyatakan tidak akan menaikkan pajak. Kini, kenyataannya malah terjadi kenaikan yang memberatkan,” tegas Ahmad Husein.
Tuntutan mereka terbagi dalam dua poin utama. Pertama, menolak kenaikan tarif PBB‑P2 yang dianggap secara sepihak merugikan masyarakat desa dan perkotaan. Kedua, mencabut rencana pengenaan pajak bagi PKL yang dinilai sebagai bentuk kriminalisasi pelaku usaha kecil. “Pemimpin harus mendengarkan suara rakyat, ciptakan lapangan kerja, bukan malah memberatkan PKL yang sudah berusaha survive,” kata Ahmad.
Sejumlah warga yang dijumpai di alun‑alun Pati mengaku siap turun tangan. Siti Aisyah, pedagang gorengan di wilayah Wedarijaksa, mengeluhkan pungutan tambahan yang membebani modal usahanya. “Kami sudah pasrah dengan omzet yang menurun, sekarang ditambah pajak baru. Mau makan apa kami?” keluhnya.
Meski aksinya digadang‑gadang akan berlangsung tertib, Ahmad mengungkapkan sempat muncul intimidasi dari oknum aparat keamanan. Namun, ia percaya gerakan ini bersifat murni atas panggilan hati, tanpa intervensi politik atau kepentingan lain. “Kami pastikan aksi berlangsung damai. Jika pemerintah masih bungkam, maka kami akan mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya,” ujarnya.
Hingga berita ini disusun, tim redaksi belum berhasil menghubungi Bupati Pati, Sudewo, atau Kepala Dinas Pendapatan Daerah untuk meminta tanggapan. Sumber di Pemkab hanya menyatakan akan mempelajari aspirasi yang berkembang. Namun, hingga pukul 17.00 WIB, belum ada pernyataan resmi maupun rencana pertemuan dengan perwakilan Aliansi.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Muria Kudus, Dr. Rinaldi Setiadi, menilai dinamika ini mencerminkan krisis komunikasi antara pemerintah dan warga. “Kebijakan fiskal seharusnya disertai sosialisasi dan konsultasi publik. Tanpa itu, kebijakan apa pun akan dipersepsi sebagai beban dan menimbulkan resistensi,” katanya.
Dengan mayoritas warga Pati yang bergantung pada usaha mikro dan pertanian skala kecil, kebijakan kenaikan PBB‑P2 dan pajak PKL diprediksi akan berdampak luas pada penurunan daya beli dan investasi lokal. Aliansi menegaskan akan terus menyuarakan penolakan hingga tuntutan dikabulkan, dan bersedia menjaga kondusivitas daerah tetap aman.
Aksi jilid kedua ini bakal menjadi ujian bagi pemerintah Kabupaten Pati dalam mengelola aspirasi publik. Masyarakat menanti, apakah janji kampanye akan ditepati atau kebijakan baru akan tetap dijalankan meski menimbulkan gejolak sosial. (Edi D/Red/**)













