Patrolihukum.net // Sumber, Probolinggo – Polemik mengenai pengelolaan lahan Perhutani di Kecamatan Sumber, khususnya di Desa Wonokerso, kembali mencuat. Warga desa tersebut mengungkapkan keluhan terkait ketidakadilan dalam aturan yang membatasi mereka untuk menanam sayur kentang di lahan yang mereka garap, sementara warga di Desa Ledokombo, yang hanya dipisahkan oleh sebuah sungai kecil, diperbolehkan untuk menanam kentang. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar bagi masyarakat tentang adanya perbedaan perlakuan terhadap dua desa yang berada dalam satu kecamatan dan kabupaten yang sama.
Pada Senin (28/4/25), sejumlah warga Desa Wonokerso yang menggarap lahan milik Perhutani dengan membayar biaya tahunan sebesar Rp300.000, merasa diperlakukan tidak adil. Mereka mengungkapkan keluhannya kepada media ini, dengan harapan ada solusi yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka. “Kenapa hanya Desa Ledokombo yang boleh menanam kentang, sementara di sini, di Desa Wonokerso, tidak diperbolehkan?” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya. “Kami hanya meminta kesempatan untuk menanam kentang, yang bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.”

Warga juga menyoroti kenyataan bahwa, meskipun kedua desa ini terpisah oleh sungai kecil, air hujan dari wilayah kedua desa tersebut mengalir ke curah/sungai yang sama. Menurut mereka, tidak ada alasan yang jelas mengapa hanya satu desa yang diperbolehkan untuk menanam kentang, sementara desa lainnya dilarang. Warga merasa bingung dan frustrasi karena aturan yang dianggap tidak adil ini semakin menyulitkan kehidupan mereka. “Kami hanya ingin bertani dengan hasil yang bisa dijual dan menghidupi keluarga kami. Tapi dengan kebijakan ini, kami merasa seperti dipersulit,” tambah warga lainnya.
Kepala Desa Wonokerso, yang juga menerima banyak keluhan dari warganya, menyatakan bahwa ia pun merasa bingung dengan kebijakan yang ada. “Saya sering menerima aduan dari warga saya tentang hal ini. Kami juga tidak mengerti mengapa wilayah di Desa Ledokombo bisa menanam kentang, sementara di sini tidak bisa. Padahal, air hujan dari kedua desa ini mengalir ke tempat yang sama,” jelasnya saat ditemui oleh media ini.
Pihak Perhutani yang diwakili oleh mantri perhutani wilayah tersebut memberikan penjelasan melalui pesan WhatsApp. Menurutnya, kebijakan mengenai larangan menanam kentang di Desa Wonokerso diberlakukan oleh Menteri karena alasan lingkungan, yakni mencegah terjadinya banjir di wilayah Kecamatan Dringu. “Saya kurang paham mengapa Desa Ledokombo bisa menanam kentang, karena saya hanya meneruskan kebijakan yang sudah ada sejak sebelum saya menjabat sebagai mantri di sini,” ungkap mantri tersebut.
Namun, jawaban ini tidak memuaskan banyak pihak, terutama warga yang merasa kebijakan tersebut tidak adil dan merugikan mereka. Mereka berpendapat bahwa jika satu wilayah tidak diperbolehkan menanam kentang karena alasan lingkungan, maka seharusnya kebijakan tersebut diterapkan secara merata di seluruh wilayah yang terpengaruh, termasuk Desa Ledokombo.
Polemik ini menarik perhatian banyak pihak, media ini berharap Pemerintah Kabupaten Probolinggo diharapkan dapat turun tangan untuk mencari solusi yang adil bagi masyarakat. Warga menginginkan adanya kesetaraan dalam pengelolaan lahan Perhutani, tanpa ada diskriminasi antar desa yang berada dalam wilayah yang sama. “Kami berharap ada perhatian dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Jika memang tidak boleh menanam kentang, maka seharusnya seluruh wilayah yang terpengaruh diberlakukan aturan yang sama,” pungkas seorang warga dengan harapan besar.
Media ini berencana untuk membawa masalah ini ke Pemkab Probolinggo agar bisa menemukan solusi yang tepat. Sementara itu, masyarakat berharap agar kebijakan yang ada bisa lebih berpihak pada mereka yang bergantung pada pengelolaan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
#PolemikLahanPerhutani #DesaWonokerso #DesaLedokombo #Probolinggo #Perhutani #Kentang #Masyarakat #KeberpihakanPemerintah
(Edi D/Red/**)