Patrolihukum.net, Sidareja, Cilacap – Sabtu pagi, 21 Juni 2025, suasana duka menyelimuti halaman RSU Aghisna Medika Sidareja. Puluhan awak media dari berbagai redaksi berkumpul, bukan sekadar meliput, melainkan menggali lebih dalam kasus yang menyisakan luka dan tanda tanya besar bagi publik: wafatnya seorang pasien BPJS, Yuni Nur Yatinah (46), dan tagihan belasan juta rupiah yang menghantui keluarga di tengah kabut birokrasi dan dugaan buruknya layanan medis.
Almarhumah Yuni Nur Yatinah, warga RT 05 RW 03, Desa Bantarsari, Kecamatan Bantarsari, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, adalah seorang perempuan tangguh yang menjalani hidup sebatang kara. Suami dan anak semata wayangnya telah lebih dulu meninggal dunia, membuat Yuni bergantung pada saudara dan keluarga besarnya.

Pada Rabu sore, 17 Juni 2025, pukul 15.00 WIB, Yuni dirujuk dari Puskesmas Bantarsari ke RSU Aghisna Medika dalam kondisi kritis. Sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan nomor kartu KIS 0002312289617, keluarga besar Yuni berinisiatif mengaktifkan kembali kepesertaan BPJS-nya dengan membayar iuran sebesar Rp1.200.000 melalui Alfamart Bantarsari. Harapannya sederhana: agar seluruh biaya pengobatan bisa ditanggung oleh BPJS.
Setibanya di rumah sakit, pihak keluarga mendapati bahwa kepesertaan BPJS tersebut tidak bisa digunakan. RSU Aghisna Medika menolak klaim BPJS dan menuntut pembayaran mandiri sebesar Rp2.500.000 hanya untuk satu malam perawatan.
Lebih memilukan lagi, menurut pengakuan keluarga, kondisi Yuni yang telah kritis tidak mendapatkan penanganan medis memadai. Ia hanya terbaring dengan infus, tanpa ada tindakan progresif dari tim medis. Melihat minimnya respons medis dan memburuknya kondisi Yuni, keluarga memutuskan untuk membawanya pulang, berharap bisa mendapat perawatan yang lebih baik di rumah sakit lain.
Pada Kamis sore, 19 Juni 2025 pukul 18.00 WIB, Yuni menghembuskan napas terakhir di rumah kakak perempuannya, Parsiatun. Kesedihan keluarga bertambah ketika pesan WhatsApp masuk ke ponsel Wiwi, salah satu anggota keluarga, yang mengatasnamakan RSU Aghisna Medika Sidareja, menagih biaya perawatan sebesar Rp16.000.000. Pesan itu dikirim saat keluarga masih dalam suasana duka mendalam.
Belum selesai keterkejutan itu, sebuah dokumen dari BPJS pun diterima keluarga. Tercantum bahwa biaya layanan yang dikenakan sebesar Rp2.740.900, ditambah denda Rp1.644.540 karena dianggap memasuki masa denda per 19 Juni 2025. Padahal, keluarga bersikukuh telah melakukan pembayaran penuh dan segera mengaktifkan BPJS sejak sebelum Yuni dirawat.
“Kenapa kami harus membayar belasan juta rupiah? Bukankah BPJS menjamin pengobatan gratis? Ini benar-benar menambah luka di tengah kehilangan,” ungkap salah satu kerabat almarhumah dengan suara bergetar menahan emosi saat diwawancara.
Total beban biaya yang ditagih—termasuk denda BPJS dan biaya rumah sakit—melambung hingga hampir Rp16 juta. Jumlah fantastis itu menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas sistem BPJS dan transparansi layanan RSU Aghisna Medika.
Kehadiran puluhan wartawan yang meminta klarifikasi pada Sabtu pagi itu tidak membuahkan hasil memuaskan. Meski pihak Humas rumah sakit menerima para jurnalis dengan sikap terbuka, pimpinan RSU Aghisna Medika tidak kunjung memberikan pernyataan resmi hingga lebih dari dua jam berlalu.
Sikap diam ini memunculkan kesan bahwa pihak rumah sakit berupaya menghindari tanggung jawab dan enggan memberikan penjelasan kepada publik terkait sistem layanan dan mekanisme penagihan yang diterapkan.
Kasus ini memicu gelombang simpati publik dan seruan untuk perbaikan sistem kesehatan nasional. Pemerintah Kabupaten Cilacap, khususnya Bupati Samsul Aulia, bersama Gubernur Jawa Tengah Lutfi dan jajaran Dinas Kesehatan Provinsi serta BPJS Kesehatan pusat, didesak turun tangan melakukan audit menyeluruh terhadap RSU Aghisna Medika.
Masyarakat berharap kasus tragis seperti ini tidak terulang kembali. Ketika rakyat kecil, dalam kondisi paling rentan, tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana mestinya dari sistem jaminan kesehatan yang mereka bayar, maka nyawa bisa jadi dipertaruhkan di antara tumpukan berkas dan tagihan.
“Kami hanya ingin keadilan,” ujar keluarga. “Kami tidak ingin orang lain mengalami hal yang sama.”
Kini, kasus Yuni Nur Yatinah menjadi simbol perjuangan masyarakat kecil dalam menuntut pelayanan kesehatan yang adil, manusiawi, dan bebas dari jebakan birokrasi yang mematikan.
(Edi D/Tim Redaksi)