Opini By: Edi Darminto
Patrolihukum.net — Di sebuah negeri yang tidak pernah kehabisan cerita, selalu ada sosok-sosok yang menempatkan diri sebagai “penjaga gerbang”. Namun, alih-alih menjaga marwah pers, sebagian dari mereka justru hadir tanpa karya nyata. Mereka lihai merangkai kata, namun bukan untuk menggali fakta. Yang mereka lakukan hanya satu: melabeli wartawan lain dengan stigma “abal-abal”.

Ironis, karena di balik tuduhan itu, jejak produktivitas mereka justru nihil. Tidak ada laporan investigasi yang lahir dari jemari mereka, tidak ada artikel yang menggugah publik, bahkan sekadar berita singkat pun sulit ditemukan. Jika ditelusuri, yang tersisa hanyalah koleksi foto dengan pejabat, seakan-akan dokumentasi itu sudah cukup menjadi legitimasi profesi.
Padahal, jurnalisme adalah kerja sunyi. Malam-malam panjang yang dihabiskan untuk menyusun laporan, catatan kecil yang berserakan dalam buku memo, hingga perburuan fakta di lapangan adalah bagian dari keseharian wartawan sejati. Semua itu tidak terlihat glamor, tetapi di situlah esensi profesi pers: menghadirkan kebenaran kepada publik.
Namun, “penjaga gerbang abal-abal” ini memilih jalan berbeda. Mereka membangun realitas imajiner, di mana menulis dianggap kuno. Bagi mereka, lebih modern jika bisa berbicara lantang, menghakimi, bahkan memvonis. Dalam dunia mereka, hierarki dibangun dengan retorika, bukan karya. Mereka menempatkan diri di puncak, sementara para jurnalis yang sungguh-sungguh berkeringat menulis ditempatkan di bawah.
Publik perlu tahu bahwa label “jurnalis abal-abal” kerap muncul bukan dari masyarakat, melainkan dari segelintir orang yang justru belum pernah menunjukkan kualitas jurnalistiknya sendiri. Label itu seolah menjadi senjata terakhir untuk menutupi ketiadaan karya.
Maka, ketika label itu kembali terdengar, barangkali kita tak perlu marah. Tersenyumlah, sebab bisa jadi itulah satu-satunya “karya” yang pernah mereka hasilkan. Dan dalam catatan sejarah pers, nama mereka hanya akan dikenang bukan sebagai penulis berita, melainkan sebagai penebar stigma.
Jurnalisme sejati tidak membutuhkan pengakuan dari mulut-mulut yang gemar melabeli. Ia tumbuh dari karya, dari dedikasi untuk publik, dan dari keberanian menghadirkan kebenaran meski penuh risiko. Sejarah akan selalu memisahkan antara mereka yang menulis, dengan mereka yang hanya menuduh. (Tim/Red/**)
















