KUDUS – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bima Sakti menyampaikan permintaan tegas agar Pengadilan Negeri (PN) Kudus membebaskan terdakwa kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berinisial DWSU. Menurut YLBHI, terdakwa DWSU yang berasal dari Kabupaten Pati merupakan korban kriminalisasi, bukan pelaku, dan harus segera dibebaskan demi tegaknya keadilan.
Direktur YLBHI Bima Sakti, Bima Agus Murwanto, S.H., M.H., dalam keterangannya kepada media pada Selasa, 6 Mei 2025, menyebut bahwa pihaknya memberikan pendampingan hukum secara cuma-cuma kepada DWSU karena terdakwa berasal dari keluarga kurang mampu dan menghadapi proses hukum yang dinilai tidak adil.

“Klien kami sebenarnya adalah korban, bukan pelaku tindak pidana perdagangan orang. Kami berharap majelis hakim PN Kudus bisa melihat fakta-fakta ini secara objektif dan membebaskan DWSU dari segala dakwaan,” ujar Bima.
Menurut Bima, tuduhan terhadap DWSU sangat lemah karena tidak adanya bukti bahwa terdakwa pernah mengiklankan atau menawarkan korban S melalui aplikasi media sosial MiChat. Bahkan, disebutkan bahwa DWSU sama sekali tidak memahami cara menggunakan aplikasi tersebut.
“Klien kami adalah buruh bangunan harian lepas yang tidak paham teknologi dan dunia media sosial. Akun MiChat yang digunakan dalam kasus ini pun dibuatkan oleh korban sendiri, bukan oleh klien kami. Ini jelas bentuk kriminalisasi,” tegas Bima.
Ia juga menyoroti kejanggalan dalam proses persidangan, di mana korban selaku pelapor tidak pernah hadir selama enam kali persidangan di PN Kudus. Bahkan, menurut pengakuan istri terdakwa, korban pernah meminta uang sebesar Rp21 juta dengan ancaman akan memperberat hukuman jika permintaan tersebut tidak dipenuhi.
“Korban pernah kirim voice note ke saya, minta uang Rp21 juta sebagai ganti rugi barang bukti yang disita penyidik. Kalau tidak diberi, katanya suami saya akan dihukum lebih berat,” ujar Fitri, istri DWSU, sambil menunjukkan rekaman voice note tersebut kepada media.
Fitri menambahkan, suaminya bukan mucikari atau germo seperti yang dituduhkan. Ia hanya seorang buruh bangunan sederhana yang dijebak oleh oknum yang memanfaatkan ketidaktahuannya terhadap teknologi.
“Suami saya sudah ditahan sejak November 2024 sampai sekarang. Sudah tujuh bulan kami kehilangan tulang punggung keluarga. Kami memohon kepada pihak kejaksaan dan majelis hakim PN Kudus agar melihat kasus ini secara adil dan membebaskan suami saya,” pinta Fitri dengan mata berkaca-kaca.
Kasus ini menarik perhatian publik karena menyangkut isu hukum, keadilan, serta kemungkinan adanya rekayasa dalam proses penegakan hukum terhadap warga kecil. YLBHI Bima Sakti menegaskan komitmennya untuk terus mengawal kasus ini hingga DWSU mendapatkan keadilan yang seharusnya.
YLBHI juga mengajak publik untuk lebih peka terhadap kasus-kasus serupa, agar tidak ada lagi masyarakat kecil yang dikorbankan dalam sistem hukum yang tidak berpihak pada kebenaran.
(Tim. baistnews.com)