Cilacap // patrolihukum.net – Suasana Desa Patimuan, Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap, memanas akibat polemik berkepanjangan yang menyelimuti proses tukar guling tanah bengkok desa. Warga setempat ramai-ramai melayangkan desakan keras kepada Bupati Cilacap, Gubernur Jawa Tengah, dan Kementerian ATR/BPN untuk turun tangan mengusut tuntas dugaan kejanggalan yang menyelimuti transaksi tersebut.
Gelombang keresahan ini dipicu oleh ketidakjelasan informasi dan minimnya transparansi dari pihak terkait dalam pengelolaan dan penyelesaian tukar guling atas 104 bidang tanah yang diklaim telah lunas dibayar oleh warga, lengkap dengan bukti kuitansi pembayaran. Di sisi lain, penerbitan 45 sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Cilacap justru dinilai terburu-buru dan tanpa verifikasi dokumen yang memadai, menambah panjang daftar tanda tanya yang membayangi proses ini.

“Tidak ada kejelasan tentang tanah yang sudah kami bayar lunas. Tapi anehnya, malah ada 45 sertifikat yang sudah diterbitkan. Kami curiga ada prosedur yang dilangkahi,” ujar salah satu warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Kecurigaan warga semakin menguat setelah adanya temuan dugaan kekeliruan dalam dokumen izin prinsip dan pelepasan tanah bengkok. Mereka menduga ada kejanggalan serius yang perlu dibongkar secara menyeluruh oleh pihak berwenang. Warga juga menyoroti keberanian BPN menerbitkan sertifikat tanpa memastikan validitas dan keabsahan seluruh dokumen pendukung secara cermat.
“Jangan sampai tanah yang sudah kami beli, justru menjadi sengketa hanya karena kelalaian administrasi atau tindakan yang tidak profesional,” keluh warga lainnya.
Sejumlah tokoh masyarakat dan perwakilan warga telah melayangkan tuntutan agar Aparat Penegak Hukum (APH) ikut turun tangan menyelidiki dugaan pelanggaran prosedur serta memastikan proses penerbitan 45 sertifikat tersebut dilakukan secara sah dan tidak merugikan pihak yang telah melunasi pembayaran.
Desakan juga dialamatkan langsung kepada Bupati Cilacap dan Gubernur Jawa Tengah agar membuka ruang komunikasi terbuka dan membentuk tim audit khusus. Harapannya, tim tersebut dapat mengevaluasi proses tukar guling, melakukan pemeriksaan dokumen, dan memastikan semua pihak bertindak sesuai aturan yang berlaku.
Kekhawatiran warga pun semakin mendalam dengan adanya informasi bahwa kasus serupa pernah terjadi di wilayah tanah bengkok eks Bangun Reja, yang juga berada di Desa Patimuan. Insiden tersebut menjadi pelajaran berharga sekaligus peringatan akan pentingnya proses tukar guling yang akuntabel, transparan, dan adil.
“Kasus di Bangun Reja jangan sampai terulang. Kami tidak mau jadi korban lagi di desa sendiri,” tegas seorang tokoh pemuda desa.
Upaya konfirmasi ke pihak BPN Cilacap terus dilakukan oleh sejumlah awak media. Namun hingga berita ini diturunkan, Kepala Kantor BPN Cilacap, Karsono, belum memberikan tanggapan resmi. Ketiadaan respons ini semakin memperkuat kesan warga akan lemahnya komunikasi dan tanggung jawab dari pihak-pihak yang seharusnya memberikan kejelasan hukum.
Warga Patimuan kini bersatu dalam tekad untuk terus mengawal kasus ini hingga titik terang ditemukan. Mereka berharap audit menyeluruh segera dilakukan, dan jika terbukti ada pelanggaran, maka sanksi tegas harus diberikan kepada pihak yang bertanggung jawab.
Harapan besar tertuju pada Kementerian ATR/BPN untuk melakukan supervisi langsung terhadap kinerja BPN Cilacap, dan memastikan bahwa hak-hak warga yang telah membayar secara sah atas 104 bidang tanah benar-benar terlindungi secara hukum.
“Kami hanya ingin keadilan dan kejelasan status atas tanah kami. Jangan biarkan desa kami terus diterpa ketidakpastian akibat ulah segelintir pihak,” pungkas warga.
Polemik ini menjadi catatan penting bagi pemerintah pusat dan daerah agar lebih serius mengawasi proses tukar guling tanah bengkok desa. Transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme mutlak diperlukan demi mencegah konflik horizontal dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. (**)