Patrolihukum.net // SERANG, 10 Juni 2025 — Pernyataan Wakil Walikota Serang, H. Syafrudin, S.Sos, M.Si, yang mengimbau para kepala sekolah agar “berani melawan oknum LSM dan wartawan abal-abal” menuai gelombang kritik tajam. Ucapan yang disampaikan dalam forum resmi itu dinilai mencerminkan pemahaman yang dangkal terhadap prinsip-prinsip dasar jurnalistik dan menimbulkan kekhawatiran terhadap kebebasan pers di Kota Serang.
Alih-alih memberikan edukasi hukum atau pelindungan yang konstruktif, pernyataan tersebut justru dianggap sebagai bentuk pengaburan terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terlebih, penggunaan istilah “abal-abal” tanpa penjelasan konkret atau definisi yang jelas justru membuka ruang interpretasi bebas yang bisa digunakan untuk mengkriminalisasi atau mendiskreditkan pihak-pihak yang menjalankan fungsi kontrol sosial.

Dalam konteks demokrasi, peran pers tidak bisa dipisahkan dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Jurnalis, ketika bekerja sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik, merupakan pilar keempat demokrasi yang harus dijaga, bukan dilawan. Imbauan seorang pejabat publik untuk “melawan”—tanpa batasan yang akurat—menjadi berbahaya, karena dapat dengan mudah disalahgunakan untuk menghalangi investigasi atau peliputan yang sah.
Wakil Walikota berdalih bahwa seruan tersebut bertujuan melindungi institusi pendidikan dari praktik pemerasan berkedok profesi wartawan atau LSM. Namun, apabila benar terdapat penyimpangan, mekanisme penanganannya sudah tersedia melalui saluran hukum. Penegakan hukum tidak dapat dilakukan berdasarkan asumsi dan label sepihak, apalagi oleh pihak yang tidak berwenang menyidik.
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pers, kegiatan jurnalistik mencakup pencarian, pengolahan, dan penyampaian informasi melalui berbagai media, dan dijamin kebebasannya dalam Pasal 4. Artinya, segala bentuk penghalangan terhadap kerja pers tanpa prosedur hukum yang sah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kemerdekaan pers dan hak asasi manusia.
Dalam sistem demokrasi, ketidakpuasan terhadap kerja jurnalis bukan dibalas dengan pernyataan frontal, melainkan melalui mekanisme pengaduan ke Dewan Pers sebagai lembaga independen. Apabila ditemukan indikasi pidana, penyelesaian dapat ditempuh melalui proses hukum sesuai perundang-undangan yang berlaku. Namun, semua proses itu tidak boleh menggiring opini publik ke arah stigma negatif terhadap profesi wartawan secara umum.
Pernyataan pejabat publik seperti ini sangat disayangkan. Ia mencerminkan rendahnya literasi etika dan hukum, serta gagal menunjukkan sikap kenegarawanan yang mestinya menjadi contoh di tingkat daerah. Jika terus dibiarkan, narasi seperti ini justru dapat membahayakan kebebasan pers, melemahkan fungsi kontrol sosial, dan memperburuk kualitas demokrasi lokal.
Sejumlah organisasi profesi pers dan masyarakat sipil kini mendesak klarifikasi resmi dari Pemerintah Kota Serang. Mereka berharap klarifikasi tersebut tidak sekadar bersifat normatif atau membela diri, melainkan menyampaikan komitmen nyata dalam menghormati peran pers dan menjamin keselamatan jurnalis yang bekerja secara profesional.
Di tengah meningkatnya tantangan terhadap independensi media, pernyataan Wakil Walikota Serang menjadi pengingat betapa pentingnya pejabat publik untuk memahami tugas dan batasan peran masing-masing. Pers bukan musuh, melainkan mitra dalam membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, jujur, dan terbuka.
Catatan Redaksi:
Redaksi menghargai upaya pemerintah dalam menangkal oknum-oknum yang menyalahgunakan profesi demi kepentingan pribadi. Namun, kami menekankan bahwa generalisasi dan stigma terhadap profesi wartawan dan LSM tanpa klarifikasi serta proses hukum yang sah hanya akan menciptakan iklim represif yang merugikan demokrasi. Kami mengajak seluruh pihak untuk berdialog secara terbuka dan menjunjung tinggi hukum serta etika dalam menyelesaikan setiap persoalan. (Tim Media/**)