Jakarta – Program pembangunan kekuatan pertahanan jangka panjang 2010–2024 segera berakhir pada 31 Desember 2024. Namun, puluhan proyek akuisisi alat utama sistem senjata (alutsista) yang dibiayai oleh Pinjaman Luar Negeri (PLN) masih belum mencapai tahap kontrak atau memiliki perjanjian pinjaman.
Aktivasi kontrak yang sudah memiliki loan agreement pun bergantung pada ketersediaan dana Rupiah Murni Pendamping (RMP) di anggaran Kementerian Pertahanan. Sayangnya, situasi fiskal pemerintah saat ini tengah tertekan oleh tantangan ekonomi global dan deindustrialisasi dini di Indonesia.
Di tengah kondisi ini, Presiden Prabowo Subianto pada 5 Desember 2024 telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian APBN 2025. Dalam anggaran tersebut, Kementerian Pertahanan menerima alokasi belanja modal sebesar Rp 62,9 triliun, dengan Rp 44,6 triliun khusus untuk kementerian dan sisanya dialokasikan bagi TNI.
Meskipun anggaran belanja modal menjadi prioritas, pertanyaan besar tetap muncul: apakah angka tersebut cukup untuk mendukung kontrak pengadaan alutsista, termasuk pembayaran uang muka untuk kapal perang modern seperti fregat?
Fokus Pada Fregat Masa Depan
Dalam DRPLN-JM 2025-2029 yang dinantikan, rencana pengadaan fregat menjadi salah satu isu strategis. Beberapa galangan kapal luar negeri telah menawarkan desain fregat dengan spesifikasi canggih yang relevan dengan kebutuhan Indonesia.
Namun, penting untuk mempertimbangkan kemampuan fregat yang lebih baik dibandingkan armada saat ini. Sebuah fregat idealnya tidak hanya mampu bertahan dari serangan lawan tetapi juga melindungi kapal lain dalam gugus tugas. Selain itu, fleksibilitas fregat dalam mengintegrasikan berbagai sistem rudal canggih menjadi kunci kesiapan tempurnya.
Kementerian Pertahanan juga dihadapkan pada tantangan pengadaan rudal untuk melengkapi kapal perang modern, seperti Pattugliatore Polivalente d’Altura (PPA) yang kini sedang dalam proses akuisisi. Kapal ini dirancang untuk Angkatan Laut Italia, namun membutuhkan penyesuaian agar sesuai dengan kebutuhan strategis TNI AL.
Dinamika Konflik di Laut China Selatan
Situasi geopolitik di kawasan, terutama Laut China Selatan, menjadi faktor yang perlu diperhitungkan dalam desain dan spesifikasi fregat masa depan Indonesia. Ketegangan yang meningkat di wilayah tersebut, terutama dengan adanya potensi eskalasi konflik, mendorong perlunya pengadaan kapal perang yang siap menghadapi ancaman lintas kawasan.
Meskipun Indonesia bukan negara pengklaim di Laut China Selatan, keterlibatan tidak dapat dihindari jika eskalasi konflik meningkat secara cepat. Oleh karena itu, pembangunan kekuatan pertahanan berbasis fregat modern menjadi bagian penting dalam rencana strategis 2025–2029.
Tantangan Ekonomi dan Harapan Masa Depan
Tekanan fiskal akibat kondisi ekonomi global yang sulit menjadi kendala utama bagi implementasi rencana ini. Pemerintah harus mampu mengelola prioritas anggaran, termasuk menjaga keberlanjutan proyek strategis pertahanan tanpa mengorbankan stabilitas fiskal.
Keberhasilan pengadaan fregat dan alutsista lainnya tidak hanya bergantung pada alokasi anggaran, tetapi juga pada efisiensi pengelolaan dana dan strategi diplomasi dalam memperkuat kemitraan internasional.
Langkah ini diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai negara maritim yang tangguh di tengah tantangan global dan regional.
(Edi D/Red/*)