Patrolihukum.net // Palu – Sidang perdana praperadilan yang diajukan oleh jurnalis media Berita Morut, Hendly Mangkali, di Pengadilan Negeri (PN) Palu, Jumat (16/5/2025), harus ditunda akibat ketidakhadiran pihak termohon, yakni Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Polda Sulteng). Penundaan ini memicu sorotan luas dari komunitas pers dan masyarakat sipil yang menilai kasus ini sebagai ujian terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Hakim tunggal yang memimpin jalannya sidang, Imanuel Charlo Rommel Danes, S.H., memutuskan sidang lanjutan akan digelar pada Rabu, 21 Mei 2025, menolak permohonan Polda Sulteng yang meminta penundaan hingga Kamis (23/5) dengan alasan masih berada di luar kota. Hakim menekankan bahwa praperadilan memiliki tenggat waktu maksimal tujuh hari kerja, sehingga tidak dapat ditunda lebih lama dari yang diperbolehkan hukum.

“Praperadilan harus diputuskan dalam waktu tujuh hari sejak didaftarkan. Permintaan penundaan hingga Kamis terlalu berisiko melanggar ketentuan tersebut,” tegas hakim dalam ruang sidang.
Sidang ini mendapat atensi tinggi dari publik, terutama kalangan jurnalis dan pegiat kebebasan berekspresi. Tercatat sekitar 15 jurnalis dari berbagai media lokal dan nasional menghadiri sidang untuk menunjukkan dukungan moril kepada Hendly. Di antara mereka hadir jurnalis senior seperti Udin Salim dari Metrosulawesi.net, Icham Djuhri dari Metrosulteng.com, dan Ilham Nusi dari Radar Sulteng.
Tak hanya dari kalangan media, dukungan juga mengalir dari organisasi masyarakat sipil. Ketua Aliansi Anti Korupsi dan Peduli Pembangunan Morowali Utara (Morut), Burhanudin Hamzah, turut hadir di persidangan sebagai bentuk solidaritas. Bahkan, seorang ibu yang diketahui merupakan warga Desa Towara, Kecamatan Petasia Timur, tampak datang sendiri ke pengadilan untuk menyatakan dukungannya kepada sang jurnalis.
Semangat perjuangan Hendly pun mendapat dorongan dari berbagai pihak, termasuk dari seorang tokoh yang disebut sebagai Jenderal Sulaiman Agusto yang menghubungi Hendly melalui sambungan telepon untuk memberikan dukungan moril.
Kasus yang menimpa Hendly Mangkali bermula dari pemberitaannya mengenai dugaan perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang pejabat. Ia kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulteng atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Penetapan ini menuai kritik tajam dari kalangan jurnalis dan pegiat kebebasan pers, yang menilai bahwa penggunaan UU ITE dalam konteks pemberitaan berpotensi membungkam kerja jurnalistik.
“Ini bukan hanya tentang Hendly, ini tentang kemerdekaan pers kita yang sedang diuji,” kata Burhanudin Hamzah saat ditemui usai sidang.
Sidang lanjutan pada 21 Mei mendatang diharapkan akan dihadiri oleh pihak Polda Sulteng dengan membawa serta saksi dan bukti pendukung yang menjadi dasar penetapan tersangka terhadap Hendly. Hakim akan mempertimbangkan kelengkapan dokumen dan argumentasi kedua belah pihak sebelum memberikan putusan mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka tersebut.
Koalisi jurnalis di Sulawesi Tengah juga menyatakan akan terus memantau jalannya sidang dan mendesak agar proses hukum berjalan secara adil, transparan, dan tidak digunakan sebagai alat represi terhadap kebebasan berpendapat.
Kasus ini pun menjadi pengingat akan pentingnya perlindungan terhadap kerja jurnalistik, terutama dalam konteks investigasi yang menyangkut kepentingan publik. (Tim/Red/**)













