Patrolihukum.net // Pontianak, Kalbar — Senin, 9 Juni 2025
Drama dugaan pemerasan oleh oknum wartawan yang disebut menerima suap Rp5 miliar, kembali mengundang polemik. Sekretariat Bersama (Sekber) LSM dan Aktivis Kalimantan Barat menilai narasi yang beredar bukanlah jurnalisme, melainkan bentuk teror informasi yang merusak kepercayaan publik.

Sekber mendesak Kepolisian Daerah Kalimantan Barat (Polda Kalbar) untuk segera mengusut tuntas penyebaran berita bohong (hoaks) yang dinilai telah mencemarkan profesi jurnalis dan mencatut institusi kepolisian. Dalam pemberitaan salah satu media daring, disebutkan bahwa seorang wartawan melakukan pemerasan terhadap pengusaha lokal dan menerima uang sebesar Rp5 miliar, bahkan turut mencatut nama Polda Kalbar seolah-olah lembaga itu telah menangani kasus tersebut.
“Ini bukan lagi isu biasa. Jika benar Polda tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi, maka itu adalah bentuk keterangan palsu yang disebarluaskan ke publik. Ada unsur pidana di dalamnya,” ujar salah satu perwakilan Sekber dalam keterangan tertulisnya, Senin (9/6).
Narasi yang beredar tidak hanya mencemarkan nama baik profesi wartawan, tetapi juga berpotensi merusak wibawa institusi negara. Sekber menilai pemberitaan tersebut menyimpang dari kaidah jurnalistik dan dapat dikategorikan sebagai penyebaran hoaks yang melanggar Pasal 242 KUHP dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE.
Pasal 242 KUHP menyebutkan bahwa siapa pun yang memberikan keterangan palsu dengan sumpah, baik secara lisan maupun tertulis, dapat dipidana hingga 7 tahun penjara. Bila menyebabkan kerugian bagi pihak lain, ancamannya meningkat menjadi 9 tahun. Sementara itu, Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar bagi pihak yang menyebarkan berita bohong di ruang digital yang merugikan pihak lain.
“Jangan karena dalih kebebasan pers, lalu media boleh seenaknya membuat narasi tanpa dasar. Apalagi menyebut institusi penegak hukum tanpa konfirmasi. Ini sudah keterlaluan,” tegas perwakilan Sekber.
Sekber meminta media bersangkutan untuk segera memberikan klarifikasi publik, menjelaskan dari mana asal informasi tersebut dan apakah telah dilakukan verifikasi sesuai standar jurnalistik. Mereka juga menuntut kejelasan mengenai keberadaan laporan resmi ke kepolisian serta kebenaran nominal Rp5 miliar yang disebut-sebut dalam konteks pemerasan.
“Jika berita itu hanya berdasarkan asumsi atau narasi sepihak tanpa fakta, maka patut diduga sebagai fitnah. Kami mendesak Dewan Pers atau lembaga pengawas lainnya untuk segera turun tangan melakukan investigasi independen,” tambahnya.
Ketua DPD YLBH LMRRI Kalbar, Yayat Darmawi, SE, SH, MH, turut mengecam pemberitaan yang dianggap mencoreng dunia jurnalistik. Ia menekankan bahwa setiap produk jurnalistik harus berbasis pada fakta, bukan opini atau kebencian.
“Saya minta Polda Kalbar segera menyelidiki motif dari berita itu. Siapa yang menyebarkan? Apakah ada motif politik, ekonomi, atau pribadi? Kita harus cari siapa dalangnya,” ujar Yayat.
Yayat juga mengingatkan bahwa jika pemberitaan ini hanya mengada-ada dan tidak menyebutkan sumber yang valid, maka pelakunya bisa dijerat hukum. “Apalagi bila identitas wartawan dan pengusaha yang disebutkan tidak pernah diverifikasi. Itu bisa jadi bentuk rekayasa informasi.”
Ketua Umum DPP RAJAWALI, Hadysa Prana, juga menyuarakan keprihatinannya. Ia menegaskan bahwa media massa harus berfungsi sebagai alat kontrol sosial, bukan alat pemuas kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
“Jangan jadikan media sebagai senjata untuk menjatuhkan atau menekan pihak tertentu. Media harus berpihak pada kepentingan publik, bukan pada agenda tersembunyi,” tegas Hadysa.
Sekber Kalbar menegaskan pentingnya transparansi dalam pemberitaan serta penegakan hukum terhadap penyebar hoaks, agar tidak terjadi preseden buruk di masa depan. Mereka meminta Polda Kalbar segera memberikan pernyataan resmi, guna menepis spekulasi yang berkembang.
“Publik tidak butuh sensasi. Publik butuh fakta yang terverifikasi. Kalau ada penyebar hoaks, maka hukum harus ditegakkan. Jangan biarkan institusi negara dan profesi jurnalis dijadikan alat permainan narasi,” tutup pernyataan resmi Sekber.
(Tim Media)
Sumber: Divisi Humas SEKBER Kalbar