Nganjuk, Patrolihukum.net — Sebuah video Kepala Desa Sukorejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, Sutrisno, memicu kehebohan publik setelah viral di media sosial. Dalam rekaman berdurasi singkat itu, Sutrisno menyatakan bahwa hanya aparat penegak hukum (APH) yang berwenang mengawasi kepala desa, sambil meremehkan surat konfirmasi dan somasi dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selama ini menjadi salah satu mekanisme resmi kontrol sosial.
“Kalau orang seperti itu ada yang minta angka-angka ngomong ke saya, tak selesaikan dengan cara saya. Saya tanggung jawab untuk sekitar Kabupaten Nganjuk, khususnya kepala desa se-Kabupaten Nganjuk. Jangan takut, hubungi saya,” ujar Sutrisno dalam video tersebut.
Ia juga menambahkan, “Siapa dia? Tidak ada dia kewenangan. Yang mempunyai kewenangan adalah APH, kepolisian, kejaksaan, sama KPK. Internal kita ada inspektorat, itu saja masih sifatnya panggilan, ada temuan ada panggilan. Kalau mereka menyurati itu apa, aduh, terlalu jauh.”

Pernyataan tersebut sontak menimbulkan kritik karena berseberangan dengan sejumlah regulasi yang mengatur hak masyarakat untuk mengawasi pengelolaan keuangan desa. Permendagri Nomor 73 Tahun 2020 misalnya, menegaskan pada Pasal 26 bahwa masyarakat berhak meminta klarifikasi atas penggunaan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa. Pasal 27 menyebut penghalangan pengawasan publik dapat menjadi dasar laporan ke Inspektorat maupun aparat penegak hukum. Pasal 28 mewajibkan kepala desa menyediakan dokumen dan laporan untuk pengawasan masyarakat.
Kontradiksi semakin tajam ketika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 82 ayat (1) menyatakan masyarakat desa berhak memperoleh informasi dan melakukan pengawasan terhadap pembangunan desa, sedangkan Pasal 106 ayat (2) menegaskan kepala desa yang menghalangi hak tersebut dapat dikenakan sanksi administratif maupun pidana.
Tak berhenti di situ, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga mengatur pada Pasal 4 bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi publik. Pasal 52 menegaskan pejabat yang menolak memberikan informasi publik dapat dipidana hingga dua tahun atau dikenai denda sampai Rp500 juta.
Sejumlah praktisi hukum dan aktivis transparansi menilai, meskipun klaim Sutrisno tentang adanya oknum yang meminta “angka-angka” dana desa bisa saja benar, hal tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menghantam prinsip transparansi secara menyeluruh. Negara melalui berbagai regulasi sudah menegaskan bahwa masyarakat berhak bertanya, mengajukan klarifikasi, dan meminta informasi penggunaan dana desa. Hak tersebut dilindungi penuh oleh undang-undang, sehingga setiap upaya membatasi atau meremehkannya justru bertentangan dengan kerangka hukum yang berlaku.
“Kalau dibiarkan, ucapan seperti ini bisa menyesatkan kepala desa lain dan merugikan masyarakat. Padahal keterbukaan informasi publik adalah roh akuntabilitas pemerintahan desa,” ujar salah satu pengamat kebijakan publik di Surabaya ketika dimintai pendapat.
Dengan dasar hukum yang jelas, pernyataan Sutrisno bukan saja bertentangan dengan aturan, tetapi juga berpotensi memicu kesalahpahaman luas di kalangan aparatur desa mengenai hak masyarakat, LSM, dan media dalam mengawasi pengelolaan dana desa. Regulasi yang ada menempatkan pengawasan publik sebagai bagian sah dari tata kelola desa, dan setiap upaya penghalangan berimplikasi langsung pada sanksi pidana maupun administratif.
Melihat dampak dari pernyataannya, pengamat menilai Sutrisno perlu diberi kesempatan untuk memperdalam pemahaman mengenai prinsip transparansi dan peran serta masyarakat dalam pengawasan dana desa. Langkah ini penting agar ke depan tidak lagi lahir pernyataan yang berpotensi menyesatkan dan merugikan prinsip akuntabilitas publik.
(Edi D/PRIMA)