KOTA PROBOLINGGO, Patrolihukum.net – Gelombang kritik muncul setelah Pemerintah Kota (Pemkot) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Probolinggo secara resmi menetapkan perubahan atas Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Perubahan tersebut memungkinkan kembali beroperasinya tempat-tempat hiburan malam seperti panti pijat, karaoke, diskotik, kelab malam, hingga bar—sebuah langkah yang langsung memantik penolakan keras dari sejumlah kalangan masyarakat sipil dan tokoh agama.
LSM LIBAS88 dan MADAS Nusantara Tegas Menolak
Ketua LSM LIBAS88, Muhyidin Evini, bersama Ketua MADAS Nusantara Kota Probolinggo, Mas Hayyi, menjadi pihak yang paling vokal menolak perubahan regulasi ini.
Keduanya menilai bahwa kebijakan yang dilegalkan oleh pemerintah daerah tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai moral dan sosial masyarakat Kota Probolinggo yang dikenal religius dan menjunjung tinggi norma kesusilaan.

“Kami menolak keras legalisasi tempat hiburan malam dalam bentuk apa pun. Ini bisa menjadi pintu masuk bagi degradasi moral dan ketidaktertiban sosial,” tegas Muhyidin Evini kepada awak media, Sabtu (12/10/2025).
Senada, Mas Hayyi dari MADAS Nusantara menilai kebijakan ini sebagai langkah mundur dari visi pemerintah yang seharusnya menegakkan ketertiban umum dan perlindungan masyarakat dari pengaruh negatif dunia malam.
“Jangan sampai alasan pendapatan daerah dijadikan pembenaran untuk membuka ruang bagi kemaksiatan. Kota Probolinggo bukan Las Vegas,” ujarnya tajam.
Kebijakan Baru Dinilai Berbeda Arah dengan Wali Kota
Penetapan perubahan Perda ini dianggap berseberangan dengan kebijakan sebelumnya yang diambil oleh Wali Kota Probolinggo, Habib Hadi Zainal Abidin.
Diketahui, Habib Hadi pernah secara tegas menutup seluruh tempat karaoke di wilayahnya dan menolak memberikan izin baru karena dinilai menimbulkan keresahan sosial serta tidak sesuai dengan kultur masyarakat.
Namun, dengan adanya perubahan Perda tersebut, DPRD dan Pemkot justru membuka kembali peluang legalisasi bagi usaha-usaha hiburan malam dengan alasan pengaturan pajak dan retribusi daerah.
“Kalau dulu ditutup demi menjaga moral masyarakat, kenapa sekarang justru dilegalkan? Ada kontradiksi kebijakan di sini,” ujar Muhyidin menambahkan.
Pemerintah Dalihkan Aspek Ekonomi
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kota Probolinggo, Abdul Mujib, menyampaikan bahwa perubahan Perda dilakukan dalam kerangka penyesuaian tarif pajak dan retribusi daerah, termasuk sektor hiburan malam.
Menurutnya, tempat hiburan malam yang beroperasi nantinya akan dikenakan pajak tinggi sebagai kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Namun, penjelasan tersebut tidak mampu meredam gelombang penolakan. Banyak pihak menilai bahwa pemerintah daerah lebih mengutamakan aspek ekonomi dibandingkan aspek sosial dan moral.
“Kalau orientasinya hanya uang, maka pemerintah kehilangan arah moralnya. PAD bisa dicari dari sektor lain yang lebih bermanfaat bagi masyarakat,” ucap Mas Hayyi.
MUI Kota Probolinggo Desak Tinjau Ulang
Penolakan serupa datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Probolinggo, yang menilai perubahan Perda tersebut berpotensi menimbulkan keresahan sosial dan moralitas di masyarakat.
MUI mendesak agar pemerintah segera meninjau ulang dan melibatkan tokoh agama serta masyarakat dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan publik.
Seorang pengurus MUI menyebutkan bahwa pemerintah seharusnya “tidak hanya berpikir soal pendapatan, tapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap generasi muda dan stabilitas sosial.”
Gelombang Penolakan Diprediksi Meluas
Isu legalisasi tempat hiburan malam ini kini menjadi perbincangan panas di kalangan masyarakat Kota Probolinggo.
Sejumlah tokoh pemuda, aktivis, hingga kelompok keagamaan dikabarkan akan menggelar audiensi dan aksi damai untuk menyampaikan aspirasi penolakan mereka di depan kantor DPRD dan Balai Kota dalam waktu dekat.
LSM LIBAS88 dan MADAS Nusantara bahkan berencana mengirimkan surat resmi ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar meninjau ulang keberlakuan Perda tersebut yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip moral bangsa.
Masyarakat Harap Pemerintah Dengarkan Suara Rakyat
Bagi banyak warga, keputusan DPRD dan Pemkot ini dianggap tidak aspiratif dan tidak melalui mekanisme dialog yang melibatkan publik secara luas.
Mereka berharap agar Pemkot Probolinggo kembali mendengar suara rakyat, bukan hanya fokus pada peningkatan pendapatan daerah.
“Lebih baik Pemkot membuka lapangan kerja halal daripada membuka pintu kemaksiatan yang bisa merusak moral generasi muda,” ujar salah satu warga Kelurahan Kanigaran.
Polemik perubahan Perda ini menjadi ujian serius bagi arah kebijakan moral dan tata kelola pemerintahan di Kota Probolinggo.
Di satu sisi, pemerintah beralasan ingin meningkatkan PAD; di sisi lain, masyarakat menuntut agar kebijakan tetap berpijak pada nilai-nilai religius dan kearifan lokal.
Kini, mata publik tertuju pada langkah selanjutnya Pemkot dan DPRD: apakah mereka akan tetap bertahan pada keputusan kontroversial ini, atau mendengarkan aspirasi rakyat yang menolak keras legalisasi hiburan malam.
(Edi D/Bambang/**)