JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo (Bamsoet), mengingatkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 62/PUU-XXII/2024 terkait penghapusan presidential threshold membawa dampak signifikan terhadap dinamika politik nasional. Keputusan ini memberikan peluang lebih besar bagi partai politik untuk mencalonkan pasangan calon presiden (capres), namun juga berpotensi menimbulkan tantangan baru.
“Penghapusan presidential threshold membuka peluang lebih luas bagi partai politik untuk mencalonkan capres. Tetapi, bertambahnya jumlah pasangan calon juga dapat memicu fragmentasi politik, tingginya biaya politik, dan munculnya kandidat dengan kualitas rendah,” ujar Bamsoet di Jakarta, Kamis (9/1/2025).
Risiko dan Tantangan
Bamsoet menjelaskan bahwa sebelum putusan MK, aturan presidential threshold mensyaratkan partai politik atau gabungan partai politik memiliki minimal 20% kursi DPR atau 25% suara nasional untuk mencalonkan pasangan capres. Dengan penghapusan aturan ini, seluruh partai politik kini memiliki peluang yang sama untuk mencalonkan capres.
“Pilpres 2024 diikuti tiga pasangan calon. Dengan penghapusan presidential threshold, pada Pilpres 2029, jumlah pasangan capres bisa meningkat menjadi lebih dari empat hingga enam,” ungkap Bamsoet.
Namun, bertambahnya kandidat tidak selalu berdampak positif. Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa banyaknya kandidat justru memicu fragmentasi politik, polarisasi, dan peningkatan biaya pemilu. Bamsoet mencontohkan pemilu Brasil 2018 yang diikuti 13 capres, menghasilkan kebingungan di masyarakat dan kandidat dengan pengalaman politik minimal.
“Indonesia harus belajar dari pengalaman ini. Kualitas kandidat harus menjadi prioritas utama. Pemilih perlu cerdas memilih berdasarkan visi, misi, dan integritas calon, bukan hanya popularitas,” tegasnya.
Dampak Polarisasi dan Biaya Politik
Bamsoet juga mengingatkan risiko meningkatnya polarisasi di masyarakat akibat bertambahnya kandidat. Data survei LSI pada 2023 menunjukkan 42% masyarakat merasa politik Indonesia semakin terpolarisasi. Jika tidak dikelola dengan baik, polarisasi ini dapat memperburuk kohesi sosial.
Selain itu, pemilu dengan banyak pasangan calon dipastikan akan meningkatkan biaya politik. “Biaya kampanye, logistik, hingga praktik politik uang dapat meningkat signifikan. Bahkan, Pilpres kemungkinan berlangsung lebih dari satu putaran, menambah beban biaya bagi negara,” jelasnya.
Langkah Strategis
Untuk mengantisipasi dampak negatif penghapusan presidential threshold, Bamsoet menyarankan beberapa langkah strategis, termasuk penguatan regulasi Pemilu, standar kualitas bagi capres, dan transparansi dana kampanye.
“Pemerintah dan DPR perlu memperkuat regulasi. Partai politik juga harus meningkatkan kapasitas kader mereka agar mampu mencalonkan pemimpin berkualitas yang memiliki visi inklusif dan agenda luas,” tambahnya.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi politik bagi masyarakat. “Pemilih harus memahami pentingnya memilih pemimpin berkualitas, bukan hanya berdasarkan citra atau popularitas,” pungkas Bamsoet.
Dengan langkah-langkah strategis ini, Bamsoet optimistis Indonesia dapat menghadapi tantangan pasca penghapusan presidential threshold dan memastikan keberlanjutan demokrasi yang sehat.
(Edi D/Red)