*JAKARTA* – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengingatkan bahwa bangsa Indonesia menghadapi berbagai ancaman yang dapat mengganggu persatuan dan kesatuan, termasuk terorisme, radikalisme, ideologi transnasional, dan narkoba. Selain itu, ancaman demokrasi yang tidak sehat juga dapat berdampak besar terhadap keharmonisan bangsa. Pemilu 2019 dengan munculnya istilah “Cebong”, “Kampret”, dan “Kadrun”, menjadi peringatan akan dampak pemilihan langsung terhadap kehidupan kebangsaan.
Pada acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Universitas Kristen Maranatha, Bandung, Jumat (7/6/24), Bamsoet menyampaikan bahwa pemilihan langsung pada Pilpres, Pileg, dan Pilkada juga menimbulkan berbagai persoalan kebangsaan. Menurut penelitian Prof. Burhanuddin Muhtadi, sebanyak 33 persen (63,5 juta pemilih) atau 1 dari 3 pemilih pada Pemilu 2014 dan 2019 menerima politik uang, menempatkan Indonesia di posisi ketiga dunia dari sisi persentase. Sedangkan dari sisi angka absolut, Indonesia menjadi negara dengan jumlah korban politik uang terbesar di dunia.

“Pemilu Indonesia kini dinilai paling liberal di dunia, melenceng dari semangat demokrasi Pancasila sesuai sila ke-4. Evaluasi menyeluruh diperlukan untuk kembali menghadirkan politik programatik bukan pragmatis, serta kompetisi elektoral berbasis partai guna mengurangi penggunaan politik uang,” ujar Bamsoet.
Acara ini juga dihadiri oleh Wakil Bupati Bandung Sahrul Gunawan, Rektor Universitas Kristen Maranatha Prof. Sri Widiyantoro, Ketua Panitia Penyelenggara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI Chendra Witarsih, peneliti dan pemerhati kajian Islam di Tiongkok Novi Basuki, sivitas akademika Universitas Kristen Maranatha, serta jajaran Pengurus Perempuan Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (PINTI) Jawa Barat, Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI) Jawa Barat, Perhimpunan Pelajar Indonesia-Tiongkok (PPIT) Jawa Barat, dan Pusat Bahasa Mandarin Universitas Kristen Maranatha.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini mengajak generasi muda menyadari betapa kaya dan beragamnya Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Dari Sabang ke Merauke, jaraknya sekitar 5.245 kilometer, lebih jauh dari jarak Boston (Amerika Serikat) ke Lisbon (Portugal). Indonesia juga terdiri dari 17.504 pulau, tiga zona waktu, dan hampir 280 juta jiwa dengan 1.340 suku bangsa, 733 bahasa daerah, serta berbagai adat istiadat, agama, dan keyakinan.
“Bangsa-bangsa di Timur Tengah maupun Eropa Timur yang memiliki banyak kesamaan masih bergulat dalam konflik. Namun Indonesia, dengan keragaman yang dimiliki, tetap damai berkat Empat Pilar MPR RI: Pancasila, UUD NRI 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI,” jelas Bamsoet.
Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Trisakti, Universitas Jayabaya, dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN) ini menegaskan, sejak era Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika diakui dunia. Sekretaris Jendral PBB Antonio Guterres pada KTT ke-43 ASEAN 2023 menyatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika menjadi kunci masa depan dunia.
Pada Mei 2023, UNESCO menetapkan pidato Presiden Soekarno “To Build the World A New” yang disampaikan di Sidang Umum PBB pada 30 September 1960 sebagai Memory of the World (MoW). Dalam pidato tersebut, Soekarno menawarkan Pancasila sebagai ideologi internasional dan universal.
“Bung Karno mengenalkan Pancasila dengan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Nasionalisme, Demokrasi, dan Keadilan Sosial yang bersifat internasional dan universal,” pungkas Bamsoet. (*)