Probolinggo, Patrolihukum.net – Kasus dugaan penganiayaan terhadap Suarni (42), seorang janda asal Desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, memasuki babak yang semakin memprihatinkan. Hampir sembilan bulan lamanya, laporan dugaan kekerasan yang diduga dilakukan oleh pemilik Villa88 — seorang WNA — tidak menunjukkan perkembangan berarti. Tidak ada penetapan tersangka, tidak ada keterangan resmi ke publik, dan tidak ada kepastian hukum bagi korban.
Situasi stagnan ini mendapat sorotan keras dari Anggota DPRD Kabupaten Probolinggo dari Fraksi PDI-P, Dedi Purnomo. Legislator Dapil V tersebut menilai bahwa lambannya respons aparat dalam memproses laporan korban merupakan bentuk kelalaian serius yang berpotensi mencederai kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.

“Sembilan bulan tanpa kejelasan untuk kasus yang disebut sudah memiliki visum, bukti fisik, dan saksi adalah sesuatu yang tidak bisa diterima,” tegas Dedi saat dikonfirmasi media ini, Rabu (19/11/2025).
“Publik berhak bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan kasus ini?”
Dedi menuding, ada indikasi kuat bahwa kasus ini tidak ditangani secara proporsional, terutama karena melibatkan seorang warga negara asing. Menurutnya, status WNA seharusnya menjadi alasan aparat semakin sigap, bukan justru seolah-olah memberikan “karpet merah” dalam bentuk penanganan berlarut-larut.
“Saya meminta Polres Probolinggo untuk bekerja lebih transparan, profesional, dan tanpa intervensi apa pun. Jika benar ada bukti dan saksi, maka seharusnya proses hukum berjalan. Status terduga pelaku sebagai WNA tidak boleh membuat proses ini berjalan seperti tanpa arah,” tegasnya.
Lebih lanjut, politisi PDI-P ini menilai bahwa stagnasi kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di daerah-daerah terpencil. Ia menegaskan bahwa korban adalah warga biasa, janda lemah, yang justru membutuhkan kehadiran negara lewat aparat hukum, bukan dibiarkan berjuang sendiri menghadapi pihak yang diduga kuat memiliki kekuatan ekonomi lebih besar.
“Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Dan jangan sampai masyarakat membaca seolah ada pihak tertentu yang dilindungi,” tegas Dedi.
“Sebagai wakil rakyat, saya akan mengawal kasus ini sampai ada kejelasan. Korban harus mendapatkan keadilan, titik.”
Warga setempat pun mulai mempertanyakan integritas dan komitmen aparat dalam menangani kasus yang dinilai “tidak rumit” ini. Bahkan muncul kekhawatiran bahwa proses hukum akan “mati perlahan” bila tidak ada tekanan publik maupun perhatian dari wakil rakyat.
Dedi Purnomo menegaskan bahwa pihaknya akan terus menyoroti langkah Polres Probolinggo hingga ada tindakan nyata.
“Penegakan hukum tidak boleh tebang pilih. Jika ada unsur pidana, proses hukum harus berjalan. Kalau memang tidak terbukti, jelaskan secara resmi ke publik. Jangan ada ruang abu-abu seperti ini,” pungkasnya.
Kasus Suarni kini menjadi cerminan bagaimana keadilan acap kali berjalan lambat ketika masyarakat kecil berhadapan dengan pihak bermodal besar. Publik pun menunggu apakah Polres Probolinggo akan memperbaiki citra profesionalisme mereka dengan memberikan langkah tegas atas kasus yang telah hampir setahun dibiarkan menggantung tanpa kejelasan.
(Edi D/Tim/Red/**)












