Probolinggo, Patrolihukum.net — Penanganan dugaan penganiayaan sadis terhadap Suarni (42), janda asal Dusun Krajan, Desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, kembali memanas. Kasus yang menyeret seorang Warga Negara Asing (WNA), pemilik Villa88 di kawasan wisata Tengger (G. Bromo), dinilai terlalu lama mengendap tanpa kepastian hukum, meski bukti dan saksi atas peristiwa itu disebut telah masuk ke penyidik.
Suarni mengalami kekerasan yang diduga dilakukan secara brutal. Ia dipukul memakai asbak keramik, dihantam dengan vas bunga keramik, dilempar mainan mobil-mobilan, diinjak-injak, hingga mengalami ketakutan ekstrem dan kehilangan kendali atas dirinya. Dalam kondisi panik, Suarni berusaha menyelamatkan diri menuju rumah Sri Mukti (istri anggota BPD Sapikerep), namun kembali dikejar terduga pelaku beserta dua orang lain yang ikut hadir saat kejadian.

Sembilan bulan sudah kasus ini ditangani Unit PPA Polres Probolinggo, namun hingga kini publik belum mendengar adanya penetapan tersangka. Situasi ini memicu pertanyaan besar dari masyarakat dan para aktivis mengenai keberanian aparat dalam menindak pelaku, apalagi statusnya adalah WNA yang memiliki usaha besar di wilayah strategis wisata.
Penyidik Pastikan Pelaku Bukan WNI
Ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya, Kanit PPA Polres Probolinggo, Aiptu Agung Dewantara, menegaskan bahwa kasus ini menjadi perhatian langsung Kapolres Probolinggo.
“Ini atensi Bapak Kapolres. Surat panggilan rekonstruksi untuk Ibu Suarni dan kuasa hukumnya kami kirimkan besok. Kami ingin kasus ini terang benderang,” ujarnya. Senin (17/11/25)
Agung juga memastikan bahwa pihaknya telah mengecek status kewarganegaraan terduga pelaku.
“Statusnya WNA. Bukan WNI. Sudah kami cek keimigrasian,” tegasnya.
Namun, pernyataan ini justru memunculkan tanda tanya baru: mengapa kasus yang sudah dinaikkan dari lidik ke sidik, telah memiliki visum, bukti fisik, dan sejumlah saksi, masih belum berujung pada penetapan tersangka?
Kuasa Hukum: Rekonstruksi Menentukan, Tidak Boleh Ada yang Ditutupi
Kuasa hukum korban, Muhammad Ilyas, S.H., M.Si., menyambut adanya rekonstruksi namun menegaskan bahwa langkah ini harus objektif dan tidak boleh diseret-seret kepentingan tertentu.
“Rekonstruksi adalah titik krusial. Kami berharap tidak ada yang ditutup-tutupi. Ini kesempatan untuk melihat kejadian secara utuh,” tegas Ilyas.
Ia juga menilai bahwa lamanya proses dapat memunculkan persepsi negatif di masyarakat.
“Sembilan bulan terlalu lama untuk kasus dengan bukti fisik seperti ini. Publik bertanya, ada apa sebenarnya?” katanya.
Aktivis: Jangan Ada Keistimewaan Hanya Karena Pelaku WNA
Ketua Koordinator Aliansi Aktivis Probolinggo, Kang Suli, menyampaikan kritik keras terhadap lambatnya penanganan. Pihaknya menilai polisi harus berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Kami akan terus kawal. Jangan sampai ada perlakuan istimewa hanya karena pelaku WNA dan punya usaha di daerah wisata,” tegasnya.
Aliansi menyoroti bahwa kasus ini sudah memasuki bulan ke-9 tanpa progres signifikan.
“Gelar perkara memang perlu, tapi setelah itu harus ada tindakan nyata: tetapkan tersangka dan limpahkan ke kejaksaan,” pungkasnya.
PPA Polres Tangani Tiga Kasus Berat Secara Bersamaan
Berdasarkan klarifikasi resmi Unit PPA Polres Probolinggo, setidaknya ada tiga kasus besar yang saat ini menjadi atensi:
- Dugaan Penganiayaan terhadap Suarni
- Dugaan Pencabulan oleh oknum pengasuh sekaligus pemilik pondok pesantren
- Kasus bayi
Namun aktivis menegaskan bahwa banyaknya kasus tidak bisa menjadi alasan lambatnya penegakan hukum.
“Korban sudah menderita terlalu lama. Kepolisian harus bertindak cepat, tegas, dan transparan,” tegas Kang Suli.
Desakan Publik: Hukum Harus Tegak Tanpa Takut Status dan Jabatan
Kasus ini menimbulkan kegelisahan masyarakat. Banyak pihak berharap rekonstruksi yang akan digelar di Mapolres Probolinggo tidak hanya menjadi formalitas, melainkan langkah konkret sebelum penetapan tersangka.
Masyarakat Tengger menilai kasus ini bukan sekadar kriminal biasa, tetapi ujian bagi penegakan hukum terhadap pelaku asing yang berbisnis di wilayah mereka.
“Hukum jangan kalah oleh status WNA,” demikian suara masyarakat yang mulai mengeras.
(Edi D/Red/**)













