Surabaya, Patrolihukum.net – Dugaan praktik pemerasan oleh aparat penegak hukum kembali mencoreng institusi kepolisian. Tiga oknum anggota Polsek Wonokromo, Surabaya, dilaporkan ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jawa Timur karena diduga terlibat dalam kasus pemerasan terhadap tujuh karyawan toko Bogajaya.
Laporan itu diajukan oleh Nat, salah satu korban, yang mengaku mendapat perlakuan dugaan intimidatif dan tekanan secara verbal maupun psikologis dalam peristiwa yang terjadi di tempat kerjanya. Didampingi kuasa hukumnya dari Lembaga Hukum Indonesia, Dilly Wibowo, Nat melaporkan ketiga anggota polisi yang disebut turut menyaksikan dan diduga membiarkan tindakan intimidasi terhadap dirinya dan rekan-rekan kerjanya.

“Sudah diterbitkan laporan polisi atas dugaan pemerasan dengan ancaman kekerasan. Selain itu, pengaduan terhadap tiga oknum anggota Polsek Wonokromo juga telah diterima oleh petugas di Bidang Propam,” ujar Dilly kepada awak media, Senin (20/5), di Gedung BidPropam Polda Jatim.
Nama-nama anggota yang dilaporkan adalah Aiptu Git, Adr, dan San. Mereka disebut hadir saat peristiwa dugaan intimidasi dan tidak bertindak sebagaimana mestinya. Tindakan mereka dianggap melanggar etika profesi, karena diduga tidak memberikan perlindungan terhadap korban saat berada di bawah tekanan dari pihak atasan toko.
Dalam laporan yang sama, Nat juga menyampaikan adanya dugaan kriminalisasi terhadap dirinya dan sejumlah rekan kerja oleh SP, Direktur PT Bogajaya. Ia menunjukkan surat panggilan klarifikasi dari Polrestabes Surabaya yang dianggap tidak sah karena disertai surat perintah penyelidikan (SP.Lidik) tanpa nomor dan tanggal.
“Kami menduga ini rekayasa. Surat panggilan ini tidak punya dasar hukum yang jelas. Oleh karena itu, kami sampaikan ke Propam agar dilakukan pemeriksaan internal,” tegas Dilly.
Sebelumnya, pihak kuasa hukum telah melayangkan somasi kepada SP, Mon (suami SP), dan pemilik toko Bogajaya, Bud, serta cucunya, CC. Mereka dituduh diduga melakukan kekerasan verbal dan ancaman di depan tiga anggota Unit Reskrim Polsek Wonokromo. Klarifikasi dari Kanit Reskrim Polsek, Ipda M. Zahari, membenarkan kehadiran tiga anggotanya dalam insiden tersebut.
Dalam proses mediasi yang difasilitasi Kanit Reskrim, hanya SP dan Aiptu Git yang hadir. Saat dikonfirmasi mengenai pencairan dana Rp2 juta yang diduga sebagai “jasa polisi” untuk menyelesaikan persoalan secara internal, SP membantah. Ia menyatakan bahwa dana tersebut diperuntukkan bagi pengacara pribadi.
Namun Dilly meragukan pernyataan itu. “Jika memang untuk pengacara pribadi, kenapa melibatkan anggota polisi dan dilakukan di ruang Reskrim Polsek?” tanya Dilly retoris.
Karena tidak ada itikad baik dari pihak terlapor, Nat memutuskan melanjutkan proses hukum secara terbuka melalui Polda Jatim dan Propam. Langkah hukum ini juga dilakukan setelah somasi dari pihak korban dijawab dengan laporan pidana terhadap para karyawan dengan tuduhan dugaan penggelapan.
“Ini bentuk nyata dugaan kriminalisasi. Diduga para korban diancam, diintimidasi, lalu dikriminalisasi. Kami akan serahkan seluruh bukti ke penyidik,” tegas Dilly.
Dilly juga menyinggung soal dampak hukum dan reputasi terhadap brand Bogajaya yang bisa dirugikan jika kasus ini terus bergulir. Ia meminta penasihat hukum SP mempertimbangkan efek publikasi negatif terhadap nama baik perusahaan.
“Kalau sampai naik ke media, yang rusak bukan hanya nama SP, tapi juga merek dan pemilik usaha Bogajaya,” ungkap Dilly.
Sebagai advokat yang datang dari Pekanbaru dengan dana pribadi, Dilly menegaskan bahwa langkahnya murni karena panggilan nurani.
“Saya tidak membela pencuri. Saya membela karyawan kecil yang diduga diperas oleh atasannya dan dibiarkan oleh aparat,” pungkasnya.
Pihak Polda Jawa Timur belum memberikan pernyataan resmi terkait laporan ini. Namun sumber internal menyebutkan bahwa laporan terhadap ketiga oknum anggota Polsek telah masuk dalam tahap verifikasi awal di Bidang Propam.
Masyarakat dan pegiat hukum mendesak agar institusi kepolisian menangani kasus ini dengan transparan dan menjunjung prinsip keadilan. Penegakan hukum tidak boleh berpihak dan harus memberi perlindungan terhadap korban yang lemah, bukan malah menambah beban melalui kriminalisasi. (Tim/Red/**)