Patrolihukum.net – Siang itu, panas terasa membakar jalanan. Di depan sebuah rumah kontrakan sederhana yang mulai kosong, suasana haru menyelimuti. Kotak kardus, karung, dan sisa-sisa kehidupan berumah tangga berserakan, siap diangkut menuju entah ke mana. Di tengah kepiluan itu, berdiri seorang sopir minibus L300 merah maron—diam, sabar, dan penuh pengertian. Ia tahu, hari itu bukan sekadar memindahkan barang, tapi menyaksikan kepergian hati yang patah.
Perempuan itu, Melda Safitri, menunduk lemah di depan rumah yang pernah dipenuhi tawa dan perjuangan. Kini, hanya isak tertahan dan bayangan kenangan yang tersisa. Tangannya menggenggam dada, seolah menahan sesak yang tak terbendung. Rumah kontrakan yang dulu ia rawat penuh cinta kini harus ditinggalkan dalam pilu.

Tanpa banyak bicara, sang sopir menata barang satu per satu. Setiap benda ia letakkan dengan hati-hati, seolah memahami bahwa di dalam kardus itu tersimpan potongan kehidupan dan air mata seorang perempuan yang telah berjuang terlalu lama. Ia tahu, perjalanan ini bukan tentang jarak, melainkan tentang perpisahan yang tak pernah diinginkan.
Ketika mobil mulai bergerak meninggalkan halaman, Melda menatap kaca spion. Ia melihat rumah yang perlahan menjauh, kecil, lalu hilang di tikungan. Air matanya jatuh tanpa suara, membasahi jilbab lusuhnya. Di balik gemuruh mesin L300, hanya keheningan dan kepasrahan yang terdengar. Sopir itu memecah sunyi dengan kalimat sederhana, namun menembus hati:
“Sabar ya, Bu. Kadang Tuhan menjauhkan kita dari tempat yang salah, supaya kita bisa menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.”
Ucapan itu membuat Melda terdiam. Di balik luka yang dalam, terselip rasa syukur kecil. Barangkali, kepergian ini bukan akhir. Mungkin ini awal dari perjalanan baru — pulang ke pangkuan orang tua, tempat di mana cinta tak pernah diminta untuk sempurna.
Minibus L300 merah maron itu melaju perlahan di bawah langit terik, menjadi saksi bisu atas kisah pilu seorang istri yang terusir dari rumahnya sendiri. Namun di kursi belakang, di antara tumpukan barang dan air mata, terselip secercah harapan. Melda tahu, pulang bukan berarti kalah. Pulang adalah cara Tuhan memulangkan hati yang pernah tersesat.
Dan di balik kemudi, sang sopir tetap diam — menjadi saksi paling setia atas perjalanan hidup yang tak semua orang berani jalani.
(Edi D/**)
















