Pati, Patrolihukum.net – Kamis (4/9/25), Luka demokrasi kembali menganga di Kabupaten Pati. Insiden memalukan terjadi di gedung DPRD Pati saat rapat Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket, di mana dua wartawan mengalami kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum pengiring Ketua Dewan Pengawas (Dewas) RSUD RAA Soewondo, Torang Manurung.
Peristiwa ini menambah daftar panjang kekerasan terhadap jurnalis yang kian mengkhawatirkan. Forum terhormat yang seharusnya menjadi ruang klarifikasi terkait isu pemakzulan Bupati Pati, Sudewo, justru berubah menjadi arena intimidasi dan arogansi.

Ketika dipanggil untuk memberikan keterangan, Torang Manurung memilih meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata. Para jurnalis yang tengah menjalankan tugas jurnalistik mencoba memastikan informasi, namun yang terjadi justru tindakan brutal.
Mutia Parasti, jurnalis LingkarTV, ditarik kasar hingga jatuh ke lantai. Sementara Umar Hanafi dari murianews.com didorong keras hingga hampir terjatuh. Kekerasan tersebut tidak hanya melukai fisik, tetapi juga melukai kebebasan pers sebagai pilar utama demokrasi.
Perbuatan tersebut dinilai telah melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dengan tegas melarang siapa pun menghalangi kerja jurnalistik. Tindakan oknum pengiring Torang Manurung bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan juga tindak pidana yang dapat dijerat hukum.
Para jurnalis menuntut pertanggungjawaban penuh atas insiden ini. Mereka menegaskan agar pelaku mendapat sanksi tegas, termasuk pemecatan dan permintaan maaf terbuka. Tanggung jawab juga harus dibebankan kepada Torang Manurung selaku pihak yang dikawal, mengingat pengiringnya bertindak atas nama kedekatan dengan dirinya.
“Ini bukan sekadar penganiayaan terhadap individu, tetapi serangan langsung terhadap demokrasi dan hak publik untuk tahu,” tegas perwakilan jurnalis yang mendampingi korban.
Insiden di DPRD Pati ini menjadi alarm serius bahwa kebebasan pers di Indonesia masih rentan terhadap intimidasi dan kekerasan. Demokrasi tidak akan pernah sehat apabila wartawan, yang menjadi mata dan telinga rakyat, terus dibungkam dengan cara-cara kekerasan.
Kejadian tersebut sekaligus menjadi ujian bagi aparat penegak hukum di Pati. Publik menanti langkah cepat dan tegas agar peristiwa memalukan ini tidak sekadar menjadi catatan hitam tanpa keadilan.
Kebebasan pers adalah roh demokrasi. Jika roh itu terus diinjak dengan arogansi kekuasaan, maka negeri ini perlahan kehilangan jiwa kebebasannya. Peristiwa di DPRD Pati adalah bukti nyata bahwa demokrasi bisa mati, bukan karena senjata, tetapi karena tangan-tangan kotor yang tega membungkam suara pers. (Edi D/Red/PRIMA)