Patrolihukum.net // Jakarta – Aksi kekerasan yang dilakukan oleh ajudan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) terhadap seorang jurnalis di Kota Semarang menuai kecaman keras dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Ikatan Media Online (IMO) Indonesia yang menyesalkan tindakan represif yang terjadi saat kegiatan peliputan arus balik di Stasiun Tawang, Semarang, Sabtu (5/4).
“Sebagai insan pers, saya tentu menyesalkan aksi ini. Bagi saya ini satu tindakan yang tidak semestinya terjadi, apalagi dilakukan oleh seorang ajudan Kapolri. Ini tentu mencederai asas kemerdekaan pers yang dilindungi Undang-Undang,” ujar Yakub, perwakilan IMO Indonesia, saat ditemui di bilangan Jakarta, Senin (7/4).

Kronologi kejadian bermula saat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sedang meninjau kondisi arus balik di Stasiun Tawang. Ketika menyapa seorang penumpang berkebutuhan khusus yang duduk di kursi roda, sejumlah jurnalis dan humas instansi pemerintah serta kepolisian melakukan peliputan dari jarak yang dianggap aman dan wajar.
Namun situasi berubah ketika seorang ajudan Kapolri tiba-tiba meminta para pewarta dan humas untuk mundur dengan cara mendorong secara kasar. Salah satu pewarta yang hadir, Makna Zaezar, jurnalis foto dari Kantor Berita Antara, kemudian memutuskan menyingkir ke arah peron untuk menghindari kericuhan.
Tak disangka, ajudan yang sama justru mendatangi Makna dan langsung melakukan kekerasan fisik dengan memukul kepalanya. Tidak berhenti di situ, ajudan tersebut diduga mengeluarkan ancaman bernada intimidatif kepada jurnalis lain di lokasi.
“Kalian pers, saya tempeleng satu-satu,” ujar ajudan tersebut seperti disampaikan oleh sejumlah saksi.
Selain Makna, beberapa jurnalis lain juga mengaku menjadi korban dorongan dan intimidasi fisik. Bahkan salah satu dari mereka sempat mengalami cekikan dari aparat pengawal tersebut. Tindakan ini tidak hanya menciptakan luka fisik, tetapi juga meninggalkan trauma dan rasa tidak aman di kalangan pekerja media yang hadir dalam kegiatan tersebut.
Menurut Yakub, tindakan kekerasan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran serius terhadap Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan bahwa setiap orang yang secara sengaja menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenai pidana penjara dan/atau denda.
“Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya melukai korban secara pribadi, tetapi juga mencederai prinsip dasar demokrasi yang menjamin kebebasan pers. Ini adalah preseden buruk bagi negara hukum,” tegas Yakub.
IMO Indonesia mendesak agar Kapolri segera melakukan evaluasi internal terhadap ajudan yang bersangkutan serta meminta permintaan maaf secara terbuka kepada publik dan khususnya komunitas jurnalis.
“Permintaan maaf itu penting, bukan hanya sebagai bentuk tanggung jawab moral, tapi juga sebagai pengingat bagi seluruh aparat negara bahwa kegiatan jurnalistik adalah bagian dari pilar demokrasi yang sah dan dilindungi konstitusi,” tambah Yakub.
Insiden ini pun memicu keprihatinan dari berbagai organisasi pers lainnya yang menilai bahwa kekerasan terhadap jurnalis, apalagi oleh aparat negara, menciptakan atmosfer kerja yang tidak kondusif dan dapat mengarah pada pembungkaman kebebasan berekspresi.
IMO Indonesia menyerukan solidaritas sesama insan pers dan mendesak Komnas HAM serta Dewan Pers untuk melakukan penyelidikan independen atas insiden tersebut guna memastikan keadilan bagi para korban dan menegakkan prinsip supremasi hukum.
(Edi D/**)