Patrolihukum.net, Nagan Raya – Konflik agraria kembali mencuat di Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Warga menuding perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Kharisma Iskandar Muda (PT KIM) telah melakukan penyerobotan lahan dan melanggar berbagai ketentuan hukum yang berlaku, khususnya terkait Hak Guna Usaha (HGU). Aksi perusahaan tersebut bahkan disebut-sebut memutus akses jalan fasilitas umum milik Pemerintah Daerah yang selama ini digunakan masyarakat untuk beraktivitas sehari-hari.
Insiden ini terjadi pada Sabtu (20/6/2025), saat warga mendapati bahwa akses jalan yang telah mereka lalui selama bertahun-tahun tiba-tiba tidak bisa digunakan karena diblokir oleh pihak perusahaan. Tindakan ini memicu keresahan luas di tengah masyarakat dan menjadi bahan pembahasan serius dalam rapat dengar pendapat yang digelar di aula Gedung DPRK Nagan Raya.

Dalam forum tersebut, masyarakat menyuarakan kekecewaan dan kemarahan mereka atas arogansi yang ditunjukkan PT KIM. Mereka meminta Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera turun tangan mengusut tuntas dugaan pelanggaran hukum oleh perusahaan tersebut.
“Kalau ini terus dibiarkan, kami khawatir akan terjadi konflik horizontal. Kami butuh keadilan. Negara tidak boleh kalah dengan korporasi!” ujar salah satu tokoh masyarakat dalam rapat tersebut.
Mengacu pada Pasal 28 Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Guna Usaha, perusahaan pemegang HGU dilarang menutup akses publik, memanfaatkan lahan secara ilegal, serta merusak lingkungan hidup. Namun, berdasarkan temuan warga, PT KIM diduga telah melanggar beberapa poin penting dalam peraturan tersebut, antara lain:
- Menutup akses jalan umum yang telah digunakan masyarakat sejak lama.
- Diduga menyerobot lahan yang masih dalam status sengketa atau dimiliki warga.
- Mengabaikan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan hidup.
Warga juga mengingatkan bahwa tindakan menutup jalan umum tanpa dasar hukum yang jelas adalah pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional masyarakat, terutama hak atas mobilitas dan akses terhadap fasilitas umum.
Menanggapi desakan masyarakat, perwakilan PT KIM, Suhermanto, yang hadir dalam rapat di DPRK Nagan Raya, menyampaikan permintaan maaf dan menyatakan bahwa pihak perusahaan akan memperbaiki akses jalan tersebut dalam waktu satu minggu. Ia juga menyatakan kesiapannya untuk bertanggung jawab secara hukum.
“Kami akui ada kekeliruan dalam proses ini. Kami akan kembalikan fungsi jalan seperti semula dan siap jika harus mempertanggungjawabkan hal ini secara hukum,” ujarnya kepada awak media usai rapat.
Namun, pernyataan tersebut tidak serta merta menenangkan warga. Mereka tetap meminta proses hukum terus berjalan agar kejadian serupa tidak terulang dan menjadi preseden buruk dalam tata kelola agraria di Aceh, khususnya di wilayah Nagan Raya.
Warga berharap agar seluruh instansi terkait, mulai dari Dinas Pertanahan, Dinas Perkebunan, hingga Kepolisian dan Kejaksaan, mengambil langkah konkret dan tidak terkesan melindungi perusahaan. Dugaan bahwa PT KIM memiliki “bekingan kuat” atau kebal hukum pun mencuat dalam diskusi publik, dan menjadi sorotan sejumlah aktivis lokal.
“Jangan sampai masyarakat merasa tidak dilindungi oleh negaranya. Kami minta keadilan ditegakkan. Hukum harus berlaku sama, baik kepada warga biasa maupun korporasi,” tegas seorang warga lainnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan HGU harus memperhatikan hak-hak masyarakat sekitar dan tidak semata mengedepankan keuntungan ekonomi. Pemerintah daerah dan pusat dituntut untuk hadir secara aktif dalam menyelesaikan konflik semacam ini, guna menjaga ketertiban sosial dan menegakkan supremasi hukum di wilayah NKRI.
Pewarta : Edi D | Published by: Editor MPH