Patrolihukum.net // PATI – Kesedihan mendalam menyelimuti pasangan suami istri Rini dan Bambang, warga Desa Banjarsari, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati. Buah hati ketiga mereka, Rafandra Astaguna, balita laki-laki berusia 1,5 tahun, mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Keluarga Sehat Hospital (KSH) Pati pada waktu azan Subuh, tepat saat malam takbiran, Kamis (31/03/2025).
Rafandra awalnya dilarikan ke RS KSH oleh orang tuanya pada Sabtu siang (29/03) karena mengalami demam tinggi. Namun, kisah pilu dimulai ketika pada pukul 02.00 dini hari, anak tersebut mengalami kejang-kejang. Berdasarkan kesaksian sang ibu, diduga perawat yang menangani justru menekan dada Rafandra dengan kedua tangan—tindakan yang kemudian diduga menjadi penyebab fatal.

“Diduga perawat menekan-nekan dada anak saya saat kejang-kejang, saya tidak tahu apa yang sedang dilakukan, saya hanya menangis. Lalu sekitar azan Subuh, mereka menyatakan anak saya sudah meninggal karena paru-parunya bocor,” tutur Rini dengan mata berkaca-kaca saat ditemui tim media ini pada Minggu (07/04).
Kondisi Rafandra sebelumnya sehat dan aktif layaknya anak-anak pada umumnya. Ia lahir secara normal di Puskesmas Gabus dengan berat dan tinggi badan ideal, tanpa riwayat penyakit serius.
Merasa ada kejanggalan dalam proses penanganan medis yang dilakukan oleh pihak rumah sakit, orang tua korban akhirnya mengadukan kejadian tersebut kepada LSM Masyarakat Peduli Keadilan (MPK) untuk mendapatkan pendampingan hukum. Ketua Umum MPK, Bima Agus, bersama Ketua Cabang Pati, Elfri, menyatakan siap mendampingi keluarga dalam proses hukum dan berencana melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.
“Kami prihatin dan akan kawal kasus ini. Ini menyangkut nyawa anak kecil yang seharusnya bisa diselamatkan jika penanganan dilakukan secara tepat. Kami akan menempuh jalur hukum dan mengusut dugaan kelalaian medis ini,” tegas Bima Agus.
Selain rasa duka mendalam, keluarga juga dibebani dengan tagihan biaya rumah sakit sebesar Rp20.500.000. Dari jumlah tersebut, baru Rp5.000.000 yang berhasil dibayar. Karena keterbatasan ekonomi, sepeda motor satu-satunya milik keluarga harus ditinggalkan sebagai jaminan biaya rumah sakit.
“Saya hanya sopir angkutan umum, mau bayar pakai apa? Apakah orang miskin tidak boleh sakit?” ungkap Bambang, ayah Rafandra, dengan nada getir.
Tragedi ini menjadi potret nyata betapa mahalnya biaya kesehatan di negeri ini, terutama bagi masyarakat kecil. Ketika hak atas layanan kesehatan seharusnya dijamin negara, nyatanya tak sedikit yang justru menjadi korban dalam sistem yang belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat kecil.
Media ini masih membuka ruang hak jawab kepada pihak RS KSH terkait peristiwa ini.
(Tim jursidnusantara.com/**)