Probolinggo, 30 Mei 2025 —
Pernyataan tidak pantas yang dilontarkan oleh salah satu anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam sebuah acara resmi kembali menuai kecaman keras dari kalangan insan pers dan aktivis sosial. Dalam sebuah video yang beredar luas di media sosial dan grup jurnalis, terlihat jelas seorang oknum BPD menyebutkan istilah “wartawan Bodrex” dalam konteks yang merendahkan, seolah menyudutkan profesi wartawan yang datang memantau pembangunan desa.
Pernyataan tersebut terlontar saat kegiatan Penerangan Hukum yang diselenggarakan oleh Kejaksaan Negeri Kraksaan. Dalam forum yang semestinya menjadi wadah edukatif mengenai hukum dan tata kelola pemerintahan desa tersebut, justru muncul narasi diskriminatif terhadap profesi jurnalis, yang disebut oleh oknum tersebut hanya datang ketika ada proyek pembangunan.

Ferdi, jurnalis dari media online Brilian-news.id, yang juga hadir dalam kegiatan tersebut, langsung merespons tegas pernyataan itu. Ia menyatakan bahwa profesi wartawan adalah bagian integral dari demokrasi, bukan alat pencitraan atau penyebar hoaks sebagaimana yang sering kali dituduhkan oleh pihak-pihak yang terganggu dengan kehadiran media.
“Pers adalah pilar keempat dalam demokrasi. Wartawan memiliki hak untuk datang kapan saja dan di mana saja untuk menjalankan fungsi kontrol sosial, termasuk ke desa. Jangan sekali-sekali merendahkan profesi ini dengan menyebut ‘wartawan Bodrex’. Istilah itu sangat tendensius dan melecehkan,” ujar Ferdi.
Ferdi juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran wartawan patut dicurigai. Sebab, menurutnya, tidak ada alasan untuk khawatir jika memang semua kegiatan berjalan sesuai aturan dan transparan.
“Kalau ada yang merasa terganggu dengan kedatangan kami, lalu menyebut media dengan istilah tidak etis, bisa jadi ada sesuatu yang ingin disembunyikan. Aparat penegak hukum harus tanggap, dan kami dari media siap turun untuk melakukan kontrol lapangan secara langsung,” imbuh Ferdi.
Lebih jauh, Ferdi memaparkan bahwa ketidaknyamanan seseorang terhadap wartawan bisa muncul karena beberapa alasan, seperti takut disorot media, khawatir akan kesalahan pemberitaan, tidak nyaman saat diwawancarai, atau bahkan ingin menutupi penyalahgunaan wewenang.
Sikap senada juga disampaikan oleh Muhyidin, Ketua LSM LIBAS88. Ia menilai pernyataan oknum BPD tersebut menunjukkan resistensi terhadap pengawasan publik, yang seharusnya menjadi bagian dari fungsi BPD itu sendiri.
“BPD adalah perpanjangan tangan masyarakat yang dipercaya untuk mengawasi jalannya pemerintahan desa. Seharusnya mereka bisa bersinergi dengan media, LSM, dan ormas untuk melakukan fungsi kontrol. Kalau malah menyudutkan media, patut diduga ada permainan yang ingin ditutup-tutupi,” tegas Muhyidin.
Muhyidin juga menyayangkan bahwa dalam kegiatan yang difasilitasi oleh institusi penegak hukum seperti Kejaksaan, justru muncul narasi yang mengabaikan pentingnya transparansi dan keterlibatan media dalam mengawal pembangunan desa.
Video rekaman pernyataan oknum BPD tersebut kini viral dan menjadi bahan diskusi hangat di kalangan jurnalis, aktivis, hingga pejabat daerah. Tidak sedikit yang mendesak Kejaksaan dan pihak terkait untuk mengklarifikasi dan mengambil langkah tegas atas insiden yang dianggap melecehkan kebebasan pers ini.
Kecaman terhadap istilah “wartawan Bodrex” bukan hanya soal ucapan, tapi menyangkut marwah profesi jurnalis yang selama ini berada di garis depan untuk memastikan pemerintahan berjalan transparan dan akuntabel. (Edi D/Red/**)













