Patrolihukum.net — Pemilihan kepala daerah (Pilkada) selalu menjadi ajang besar yang menyita perhatian publik. Namun, di balik gemerlap kampanye, hiruk-pikuk influencer berbayar, hingga perdebatan tim sukses, ada satu fakta yang sering diabaikan: biaya penyelenggaraan Pilkada sangat besar dan terus meningkat setiap tahunnya.
Data dari Kementerian Dalam Negeri mencatat, anggaran Pilkada serentak 2024 mencapai Rp41 triliun. Anggaran ini mencakup biaya untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Polri, dan TNI. Sumber dana berasal dari APBD 2023 (40%) dan APBD 2024 (60%).
Biaya Fantastis dan Dampaknya
Penyelenggaraan Pilkada membutuhkan ribuan Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan petugas. Setiap TPS menelan biaya operasional sekitar Rp2,5 juta, belum termasuk honor untuk anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Linmas.
Dengan jumlah pemilih mencapai 207 juta orang di 545 daerah (37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota), Pilkada serentak membutuhkan sumber daya manusia dan logistik yang luar biasa besar. Sayangnya, pengawasan pemilu melalui Panwaslu sering dianggap lemah sehingga tidak memberikan manfaat signifikan.
Sejak 2017, anggaran Pilkada terus meningkat tajam. Pada tahun itu, biaya penyelenggaraan hanya Rp4,2 triliun, lalu melonjak menjadi Rp18,5 triliun di 2018, dan Rp20,4 triliun pada 2020. Tahun 2024, angka ini diproyeksikan mencapai puncaknya dengan Rp37,52 triliun.
Kritik terhadap Sistem Pemilu Langsung
Banyak pihak mempertanyakan efektivitas pemilu langsung. Selain biaya yang tinggi, ada kekhawatiran bahwa sistem ini lebih menguntungkan media dan tim sukses daripada rakyat. Berdasarkan laporan OpenSecret, di Amerika Serikat, 56% anggaran kampanye mengalir ke media. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, di mana anggaran sosialisasi Pilkada pemerintah menjadi peluang bagi media massa.
Selain itu, pengeluaran pribadi calon kepala daerah untuk mahar politik, biaya kampanye, dan pendekatan kepada donatur sering menjadi beban tambahan. Sementara itu, hasil dari pemilu langsung selama 25 tahun terakhir dinilai belum memberikan dampak signifikan terhadap kemajuan demokrasi atau kesejahteraan masyarakat.
Alternatif Penggunaan Anggaran
Sejumlah kritik menyarankan bahwa anggaran besar untuk Pilkada sebaiknya dialokasikan untuk proyek infrastruktur atau kebutuhan dasar masyarakat. Sebagai contoh, Biaya Pilkada 5 tahun yang mencapai Rp80,65 triliun bisa digunakan untuk mengurangi utang pembangunan Tol Trans Jawa, yang kini mencapai Rp291 triliun.
Sektor lain seperti pemberantasan stunting, rehabilitasi pecandu narkoba, atau legalisasi ganja medis untuk tujuan kesehatan dan ekonomi juga dianggap lebih mendesak.
Usulan Revisi Sistem Pemilihan
Beberapa partai di DPR, termasuk yang mendukung Presiden Prabowo Subianto, mengusulkan agar kepala daerah dipilih oleh DPRD, bukan melalui Pilkada langsung. Sistem ini diyakini dapat menghemat anggaran negara sekaligus mengurangi potensi konflik di lapangan.
Namun, perubahan sistem ini tentu bukan tanpa risiko. Pemerintah dan DPR perlu menyiapkan langkah antisipasi menghadapi reaksi dari kelompok-kelompok tertentu yang mungkin menolak kebijakan ini.
Kesimpulan
Evaluasi terhadap penyelenggaraan Pilkada langsung menjadi hal yang mendesak. Apakah sistem ini benar-benar mencerminkan “investasi demokrasi”? Ataukah hanya menjadi ajang pemborosan anggaran negara? Presiden Prabowo dan para pengambil kebijakan perlu segera mengambil langkah strategis untuk menjawab pertanyaan ini demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Pewarta: Edi D/Red/Tim/**