Menu

Mode Gelap
TNI AD Berjuang Bersama Rakyat, Kodim 0820 Peringati Hari Juang Ke-79 Polsek Widang Tingkatkan Patroli di Perbatasan Jelang Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 Advokat Muda Salamul Huda Nahkodai GP Ansor Kota Probolinggo Masa Khidmat 2024-2029 88 Karateka Ikuti Ujian Kenaikan Tingkat Kodim 1009/Tanah Laut Peringatan Hari Juang Kartika TNI AD Ke-79, Dandim Tanah Laut Ajak Rakyat Bersama TNI Jaga NKRI HUT Ke-10 Sanggar Seni Reog Singo Lawu: Dukungan PKB Marelan

Kabar Viral

9 Bulan Tanpa Kepastian, Suarni Sapikerep Dibiarkan Menderita: Negara Baru Hadir Saat Aliansi Aktivis Probolinggo Bergerak

badge-check


					9 Bulan Tanpa Kepastian, Suarni Sapikerep Dibiarkan Menderita: Negara Baru Hadir Saat Aliansi Aktivis Probolinggo Bergerak Perbesar

Probolinggo, Patrolihukum.net — Tim investigasi menelusuri dugaan penganiayaan terhadap Suarni, warga Desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, yang selama hampir sembilan bulan mengalami derita fisik tanpa penanganan layak. Kasus ini menyeret nama pemilik Villa88, sebuah usaha wisata di kawasan perbukitan Sukapura.

Dari hasil penelusuran lapangan, ditemukan tiga kejanggalan besar:

9 Bulan Tanpa Kepastian, Suarni Sapikerep Dibiarkan Menderita: Negara Baru Hadir Saat Aliansi Aktivis Probolinggo Bergerak
  1. Minimnya intervensi medis sejak awal kejadian,
  2. Lambatnya penanganan hukum meski laporan telah dibuat Maret 2025,
  3. Kurangnya perhatian pemerintah desa maupun instansi sosial terhadap korban.

Kasus ini dinilai membuka wajah lain dari relasi kuasa di daerah: ketika rakyat kecil berhadapan dengan pemilik modal.

Tim menemukan bahwa Suarni mengalami benjolan keras di kepala sejak peristiwa dugaan penganiayaan yang dilaporkan pada Maret 2025. Selama sembilan bulan, benjolan itu tidak kunjung sembuh dan menimbulkan efek ikutan berupa:

  • Nyeri kepala akut
  • Gangguan penglihatan pada kedua mata
  • Penurunan tenaga hingga tidak mampu bekerja

Kepala Puskesmas Sukapura, Munir, mengonfirmasi bahwa korban baru mendapatkan perawatan intensif mulai 19 November 2025.

Namun, informasi dari keluarga menyebutkan bahwa dokter spesialis belum turun tangan, meski luka berkaitan dengan dugaan tindak pidana yang membutuhkan visum lanjutan dan pemeriksaan neurologis.

Hal ini memunculkan pertanyaan:
Siapa yang seharusnya memastikan korban dugaan penganiayaan mendapatkan pemeriksaan medis lengkap sejak awal?

Laporan resmi ke Unit PPA Polres Probolinggo dibuat pada Maret 2025. Jika merujuk standar penanganan kasus kekerasan, pihak kepolisian seharusnya:

  1. Memastikan korban mendapat visum lengkap,
  2. Mengarahkan korban ke fasilitas kesehatan rujukan,
  3. Merujuk ke Dinas Sosial untuk perlindungan korban,
  4. Memastikan keamanan korban selama proses hukum berjalan.

Namun dari hasil investigasi, tak satu pun dari langkah itu berjalan optimal.

Fakta lapangan menunjukkan:

  • Dinas sosial melalui PPPA disebut pernah melihat kondisi korban, namun tidak memberikan tindak lanjut kesehatan.
  • Visum awal diduga tidak menyentuh aspek cedera kepala jangka panjang.
  • Korban dibiarkan tanpa pendampingan medis hampir setahun.

Ini mempertegas dugaan adanya prosedur perlindungan korban yang mandek.

Satu-satunya pihak yang bergerak cepat justru Aliansi Aktivis Probolinggo.
Mereka menjemput Suarni dari rumah dengan kendaraan LAZISMU dan langsung membawa ke Puskesmas Sukapura.

Langkah ini menggantikan peran yang seharusnya dijalankan oleh lembaga negara.

Kang Suli menyampaikan kepada tim investigasi:

“Ini bukan hanya kasus penganiayaan. Ini soal bagaimana negara memandang rakyat kecil. Tanpa bergerak cepat, kondisi Bu Suarni bisa lebih buruk lagi.”

Warga Sapikerep baru tersentak setelah kondisi Suarni dipublikasikan dalam video dan foto yang beredar di media sosial.
Selama sembilan bulan terakhir, warga mengaku tidak pernah menerima penjelasan dari pihak manapun terkait apa yang sebenarnya menimpa Suarni.

Dari hasil wawancara, muncul dugaan bahwa:

  • Ada tekanan sosial sehingga korban memilih diam,
  • Ada ketimpangan relasi kuasa antara korban dan terduga pelaku,
  • Lingkungan desa tidak memiliki keberanian atau informasi yang cukup untuk memberi dukungan.

Seorang tokoh desa yang meminta identitasnya disembunyikan berkata:

“Di sini kalau berurusan dengan pemilik modal, orang kecil pilih diam. Situasi jadi tidak seimbang.”

Suarni dijadwalkan kembali menjadi saksi Senin depan.
Padahal, menurut observasi medis sementara, kondisinya tidak stabil, masih lemah, dan mengalami sakit kepala hebat.

Ayah angkat Yeyen, putri Suarni, menyampaikan permintaan tegas:

“Jika diagnosa keluar dan kondisi belum membaik, kami minta surat keterangan tertulis. Jangan sampai korban dipaksa hadir.”

Jika pemanggilan dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi medis, hal ini berpotensi melanggar asas perlindungan korban.

Meski belum ada bukti resmi, beberapa pola menimbulkan pertanyaan:

  • Mengapa pemeriksaan medis lanjutan tidak pernah dilakukan selama 9 bulan?
  • Mengapa laporan yang diajukan Maret 2025 seakan tak bergerak signifikan?
  • Mengapa kondisi korban memburuk tanpa intervensi dari lembaga yang seharusnya hadir?

Pola-pola ini kerap ditemukan dalam kasus yang melibatkan:

  • Pelaku dengan modal tinggi,
  • Hubungan ekonomi antara warga dan pelaku,
  • Ketidakseimbangan posisi sosial,
  • Kurangnya pendampingan hukum korban.

Kasus Suarni memenuhi sebagian besar indikator itu.

Dalam berbagai pernyataan, aktivis menilai bahwa rakyat kecil seperti Suarni seringkali kesulitan mendapatkan pelayanan hukum dan kesehatan.

Kang Suli ketua koordinator aliansi aktivis Probolinggo menyindir keras:

“Mungkin pajak Bu Suarni terlalu kecil. Karena itu keadilan terasa terlalu mahal baginya.”

Sindiran ini menunjukkan kemarahan publik terhadap ketimpangan perlakuan antara rakyat kecil dan pelaku usaha.

Kasus Suarni bukan sekadar persoalan penganiayaan. Ini adalah potret retaknya sistem pelayanan publik di tingkat lokal:

  1. Kelemahan perlindungan korban
  2. Birokrasi kesehatan yang lamban
  3. Penegakan hukum yang tidak peka pada kondisi korban
  4. Relasi kuasa desa yang timpang

Jika dibiarkan, kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk:
bahwa rakyat kecil harus menunggu viral dulu untuk mendapatkan haknya.

Masyarakat, aktivis, dan keluarga kini menuntut:

  • Pemeriksaan medis menyeluruh oleh dokter spesialis,
  • Kepastian hukum dari Polres Probolinggo,
  • Perlindungan penuh kepada korban,
  • Transparansi proses penyidikan,
  • Pemastian bahwa tidak ada intervensi dari pihak manapun.

Kasus ini akan terus dipantau oleh jaringan aktivis, media, dan publik.
Jika negara abai, maka kasus Suarni akan tercatat sebagai bukti bahwa keadilan untuk rakyat kecil masih menjadi kemewahan di negeri sendiri.

(Edi D/Bambang/Red/**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

LSM PASKAL Hantam Proyek Tugu Kota Probolinggo: Anggaran Fantastis, Perencanaan Amburadul

20 November 2025 - 06:30 WIB

LSM PASKAL Hantam Proyek Tugu Kota Probolinggo: Anggaran Fantastis, Perencanaan Amburadul

Buron! Program Ketahanan Pangan Dikorupsi, Kejari HST Buru E.S hingga ke Bali–Jawa Timur

20 November 2025 - 05:48 WIB

Buron! Program Ketahanan Pangan Dikorupsi, Kejari HST Buru E.S hingga ke Bali–Jawa Timur

Skandal BBM Subsidi di Pantura Menggila: Mafia Solar Tantang Negara, Publik Tagih Aksi Tegas Polda Jateng

20 November 2025 - 05:29 WIB

Skandal BBM Subsidi di Pantura Menggila: Mafia Solar Tantang Negara, Publik Tagih Aksi Tegas Polda Jateng

Oknum ASN Disdukcapil Bergoyang di Hotel Kota Medan Meledak: Digerebek di Hotel, Dilaporkan ke Polda, Jabatan Rontok!

20 November 2025 - 05:08 WIB

Oknum ASN Disdukcapil Bergoyang di Hotel Kota Medan Meledak: Digerebek di Hotel, Dilaporkan ke Polda, Jabatan Rontok!

Breaking news! GAP Geruduk DPRD Pati, Tuntut Pembebasan Botok dan Teguh yang Ditahan Polda Jateng

20 November 2025 - 04:52 WIB

Breaking news! GAP Geruduk DPRD Pati, Tuntut Pembebasan Botok dan Teguh yang Ditahan Polda Jateng
Trending di Kabar Viral