Uji Sidang Tertutup Program Doktor Hukum Universitas Borobudur, Ketua MPR RI Bamsoet Ingatkan Pentingnya Sistem Surveilans Terintegrasi

*JAKARTA* – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur Bambang Soesatyo menekankan pentingnya Indonesia memiliki sistem surveilans terintegrasi. Untuk mendeteksi, mencegah, dan merespon secara cepat terhadap krisis kesehatan yang dihadapi bangsa. Sebagai modal tatkala bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada krisis kesehatan seperti pandemi penyakit menular layaknya pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu.

“Pandemi Covid-19 telah mengajarkan dan menunjukan kepada kita, tentang betapa rapuhnya sistem kesehatan nasional dalam menghadapi krisis kesehatan. Pandemi Covid-19 juga mengajarkan kepada kita agar di masa depan selalu siap menghadapi ancaman yang sangat berbahaya dan berdampak masif. Tidak hanya bagi kesehatan, melainkan juga ekonomi, sosial, bahkan politik,” ujar Bamsoet saat menjadi penguji disertasi Agus Sutarman yang berprofesi sebagai dokter bedah di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), di Program Doktor Hukum Fakultas Hukum Universitas Borobudur, Jakarta, Kamis (7/9/23).

Turut hadir para penguji lainnya antara lain, Promotor sekaligus Ketua Program Doktor Hukum Universitas Borobudur Prof. Faisal Santiago, Ko-Promotor Rineke Sara, penguji internal Prof. Rudi Bratamanggala dan Ahmad Redi, serta penguji eksternal Prof. Zainal Arifin Husein.

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, disertasi Agus Sutarman membahas tentang ‘Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Dalam Kejadian Luar Biasa Pada Wabah Penyakit Menular di Indonesia’. Sangat relevan bagi Indonesia dalam menyiapkan sistem surveilans terintegrasi.

“Selain menunjukan rapuhnya sistem kesehatan nasional, pandemi Covid-19 juga memberikan pelajaran besar bagi kita untuk memberikan perlindungan hukum secara nyata terhadap para tenaga medis dan tenaga kesehatan. Mengingat adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP. Terlebih jika mereka melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar operating procedure,” jelas Bamsoet.

Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, profesi tenaga medis dan kesehatan sangat rentan terhadap kriminalisasi. Karenanya harus ada aturan yang jelas terkait prosedur hukum menyangkut profesi mereka. Pentingnya perlindungan hukum terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan sesuai dengan Pasal 57 UU No.36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, serta Pasal 50 huruf a UU No.29/2004 tentang Praktik Dokter.

Perlindungan hukum tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari hak dan kewajiban, sesuai ketentuan Pasal 50 UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, serta Pasal 8 dan 9 UU No. 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang meliputi perlindungan hukum dalam penegakan hukum. Tinggal implementasinya dilapangan yang perlu ditingkatkan.

“Misalnya, jika sesuai dengan standar profesi dan standar operating procedure, serta iktikad baik, maka tenaga medis dan tenaga kesehatan tidak bisa langsung dihadapkan pada masalah hukum. Seandainya pihak keluarga pasien tidak puas, bisa terlebih dahulu diselesaikan melalui mediasi maupun melalui Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),” pungkas Bamsoet.

(Edi D/Tim/*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *