Patrolihukum.net // Sorong, 10 Juni 2025 — Sengketa lahan antara PT Bagus Jaya Abadi (BJA) dengan pemilik sah Hamonangan Sitorus kini memasuki babak baru yang menimbulkan tanda tanya serius. Pada sidang mediasi pertama yang digelar di Pengadilan Negeri Sorong, Senin (26/05/2025), kuasa hukum PT BJA, Albert Frasstio, mengungkap fakta mengejutkan bahwa perusahaan tersebut belum memiliki sertifikat apapun—baik Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), maupun Hak Milik (HM)—atas lahan yang menjadi objek sengketa.
Pernyataan resmi tersebut memicu pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin pengadilan menerima dan memproses gugatan tanpa adanya bukti kepemilikan formal? Sumber yang mengikuti jalannya persidangan menjelaskan, “Dari pernyataan pengacara PT BJA, terlihat jelas bahwa perusahaan tidak memiliki dokumen legal formal terkait klaim tanah atas nama Paulus George Hung alias Ting-Ting Ho alias Mr. Ching.”

Kritik pun datang dari para pegiat hukum dan pemerhati agraria. “Ini aneh dan sangat disayangkan. Bagaimana pengadilan bisa memproses perkara tanah tanpa adanya sertifikat yang diakui negara? Ini bisa menyesatkan proses hukum dan menciptakan ketidakpastian hukum,” ungkap seorang pakar hukum pertanahan yang enggan disebutkan namanya.
Dalam hukum agraria Indonesia, kepemilikan tanah harus dibuktikan dengan dokumen resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Gugatan tanpa dasar hukum yang kuat rentan melukai rasa keadilan masyarakat dan merusak asas legalitas yang menjadi fondasi utama sengketa pertanahan.
Dr. Surya Darma, SH, MH, pakar hukum agraria Universitas Cendrawasih, menegaskan, “Tidak mungkin seseorang atau badan hukum mengklaim tanah tanpa alas hak yang sah. Jika tidak ada sertifikat, klaim itu gugur secara hukum.” Ia menambahkan, “Pengadilan harusnya menolak gugatan tanpa dasar hukum memadai sejak awal.”
Prof. Nurkholis Djunaedi, SH, LL.M, Ph.D, Guru Besar Hukum Perdata Agraria UI, juga menyatakan, “Gugatan tanpa HGB, HGU, atau HM tidak memiliki kekuatan hukum. Ini berbahaya karena dapat membuka celah perampasan tanah terselubung lewat jalur litigasi.” Ia mengingatkan pengadilan harus menjadi benteng keadilan, bukan alat tekanan pihak kuat.
Julius Batlayeri, SH, advokat senior dan pemerhati hukum tanah Papua, menyebut kasus ini sebagai contoh pemanfaatan mekanisme hukum oleh pihak tak berhak. “Banyak tanah masyarakat Papua Barat Daya belum bersertifikat karena proses pendaftaran belum merata. Ini dimanfaatkan untuk klaim sepihak. Majelis Hakim harus meminta bukti formal dan hentikan proses jika tidak ada,” tegasnya.
Sengketa ini menjadi catatan penting bagi aparat hukum, masyarakat adat, dan aktivis agraria di Papua Barat Daya. Jika dibiarkan, perkara semacam ini bisa menjadi preseden buruk yang melemahkan perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah di daerah rawan konflik seperti Sorong.
Publik kini menanti sikap tegas Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sorong: apakah proses gugatan tanpa dasar legalitas kuat ini akan dilanjutkan atau dihentikan demi menjaga integritas hukum agraria dan melindungi hak warga negara?
Bagi Hamonangan Sitorus, keadilan ada di tangan pengadilan. Bagi masyarakat luas, perkara ini menjadi peringatan bahwa pengakuan hak atas tanah di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, bahkan dalam ruang hukum formal.
Kasus ini juga menjadi momentum penting bagi penegakan hukum agraria nasional agar pengadilan tidak menjadi tempat pengklaiman lahan tanpa bukti yang sah, melainkan benteng keadilan bagi pemilik tanah yang sah dan berhak.
(YBR/Tim Media/Red/**)













