Oleh: Yakub F. Ismail
Patrolihukum.net — Dunia internasional kembali dibuat sesak napas. Bukan karena bencana alam, melainkan akibat perang tarif yang semakin memanas antara dua raksasa ekonomi dunia—Amerika Serikat dan Tiongkok. Di tengah upaya global pulih dari dampak pandemi COVID-19, tensi baru dalam hubungan dagang kedua negara ini justru menambah ketidakpastian.
Ketegangan yang tak kunjung reda ini bukan hanya memperkeruh hubungan bilateral AS-Tiongkok, tapi juga menyeret berbagai negara lain, termasuk Indonesia, dalam pusaran dampaknya. Dunia menyaksikan dengan cemas, sebab apa yang dipertontonkan dua kekuatan ekonomi ini tidak ubahnya perlombaan “gila” yang mempertaruhkan stabilitas global.

Presiden AS saat itu, Donald Trump, meluncurkan kebijakan yang sulit ditebak, memproklamirkan diri sebagai pembela kepentingan nasional AS lewat slogan “Make America Great Again”. Dalam semangat tersebut, ia memberlakukan tarif dasar 10 persen terhadap hampir seluruh mitra dagang, kecuali Rusia dan Korea Utara. Tak tanggung-tanggung, bahkan negara-negara sekutu seperti Australia, Taiwan, Hong Kong, hingga Singapura pun terkena imbasnya.
Negara-negara yang memiliki surplus perdagangan besar dengan AS turut menjadi sasaran. Lesotho, Kamboja, Laos, Madagaskar, Vietnam, Myanmar, termasuk Indonesia yang dikenakan tarif sebesar 32 persen. Namun, puncak kekisruhan datang saat AS memukul Tiongkok dengan tarif impor yang melonjak hingga 145 persen—angka yang mengagetkan dunia dan nyaris tak masuk akal secara ekonomi.
Respon Tiongkok pun tidak kalah agresif. Mereka membalas dengan tarif serupa terhadap produk-produk dari AS. Perang tarif balasan (retaliasi) ini terus meningkat, menciptakan ketegangan yang belum terlihat ujungnya.
Perang dagang ini bukan hanya berdampak langsung terhadap dua negara adidaya itu, tetapi juga menyebar seperti efek domino ke seluruh dunia. Negara-negara dengan keterikatan dagang yang erat dengan AS dan Tiongkok menjadi korban lanjutan. Tidak ada yang kebal. Hampir semua negara kini bersiap menghadapi goncangan ekonomi, termasuk Indonesia.
Dengan hubungan dagang yang kuat terhadap keduanya, Indonesia termasuk negara yang paling terdampak. Menurut data BPS, ekspor Indonesia ke Tiongkok pada 2023 mencapai USD 64,93 miliar, menjadikannya tujuan ekspor terbesar. Produk seperti nikel, batu bara, lignit, dan gas petroleum menjadi andalan utama. Sedangkan ekspor ke AS sebesar USD 23,25 miliar, didominasi oleh minyak kelapa sawit, ban karet, dan tekstil.
Melihat ketergantungan ini, kekacauan yang disebabkan oleh perang tarif bisa mengancam stabilitas ekspor nasional dan menyulitkan pelaku usaha dalam negeri.
Situasi ini menuntut langkah strategis dari pemerintah Indonesia. Setidaknya ada empat hal mendesak yang harus dilakukan:
Pertama, memperkuat fondasi ekonomi nasional. Indonesia perlu memastikan ketahanan ekonomi makro agar tak mudah terombang-ambing oleh dinamika global yang tidak menentu.
Kedua, regulasi impor harus diperketat. Barang-barang dari negara-negara yang kini terkena tarif tinggi dari AS, khususnya Tiongkok, bisa saja membanjiri pasar Indonesia. Tanpa pengawasan ketat dan kebijakan yang melindungi produk lokal, Indonesia akan menjadi sasaran penetrasi barang asing murah berkualitas tinggi.
Ketiga, komunikasi antara pemerintah dan pelaku usaha harus diintensifkan. Dunia usaha adalah pihak paling rentan terhadap ketidakpastian global. Koordinasi yang kuat akan membantu dunia usaha melakukan antisipasi dan adaptasi terhadap perubahan yang cepat.
Keempat, Indonesia harus memainkan diplomasi ekonomi yang cerdas. Di tengah konflik dua kekuatan besar ini, selalu ada celah untuk memetik keuntungan. Pendekatan bilateral, baik dengan AS maupun Tiongkok, perlu difokuskan untuk membuka peluang kerja sama yang menguntungkan dan menjaga posisi tawar Indonesia.
Krisis global memang tak bisa dihindari, tapi bisa disikapi secara bijak dan taktis. Di balik kekacauan yang ditimbulkan oleh perang tarif, masih ada peluang tersembunyi yang dapat dimanfaatkan. Pemerintah Indonesia harus jeli membaca situasi, tanggap terhadap dinamika global, dan sigap melindungi kepentingan nasional.
Ketahanan ekonomi tidak hanya diukur dari angka pertumbuhan, tetapi juga kemampuan beradaptasi dan bertahan di tengah tekanan. Dunia sedang menanti, apakah Indonesia bisa lolos dari jerat perang dagang atau justru menjadi korban selanjutnya.
Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia.
Published: Edi D













