Jakarta – (Selasa, 13 Mei 2025)
Ketokohan dua tokoh nasional, Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, kini berada dalam sorotan tajam. Keduanya dianggap telah mempertaruhkan integritas yang selama ini dijaga melalui pencalonan sebagai Anggota Dewan Pers periode 2025–2028 yang dinilai cacat hukum.

Pernyataan keras ini disampaikan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI), Hence Grontson Mandagi, dalam siaran persnya di Jakarta. Ia menegaskan bahwa proses pemilihan anggota Dewan Pers bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Saya sangat menghormati dan mengapresiasi kapasitas serta integritas dua tokoh bangsa ini. Namun, ketika keikutsertaan mereka dalam Dewan Pers dilakukan melalui mekanisme yang tidak sah dan merugikan komunitas pers nasional, maka ketokohan mereka dipertaruhkan,” ujar Mandagi.
Busyro Muqoddas dikenal luas atas kiprahnya saat menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2010–2011. Sedangkan Komaruddin Hidayat merupakan tokoh pendidikan Islam modern yang sukses memimpin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua periode (2006–2015).
Mandagi menyampaikan keyakinannya bahwa keduanya bukanlah sosok ambisius, dan akan mampu menilai bahwa proses pemilihan anggota Dewan Pers saat ini bermasalah secara hukum. Ia mendesak agar Busyro dan Komaruddin mempertimbangkan untuk mundur secara sukarela dari hasil penetapan Presiden, atau mendorong reformasi total sistem perekrutan anggota Dewan Pers.
“Presiden RI memang telah menetapkan anggota Dewan Pers baru, namun demi kehormatan dan nasib kebebasan pers nasional, sebaiknya kedua tokoh ini mundur,” ujarnya.
Menurut Mandagi, Dewan Pers saat ini tidak merepresentasikan kehendak masyarakat pers Indonesia. Lembaga tersebut dianggap telah dikuasai segelintir elit yang memarjinalkan organisasi pers lokal dan memperkaya konglomerasi media nasional.
Mandagi menuduh Dewan Pers membiarkan praktik “pelacuran pers” melalui legalisasi kerjasama media dengan pemerintah tanpa mekanisme tender pihak ketiga. Konsekuensinya, media kehilangan fungsi kontrol terhadap pemerintahan karena adanya ketergantungan pada kontrak iklan.
“Media dan wartawan dipaksa menggadaikan idealismenya. Sementara itu, ratusan triliun rupiah iklan nasional hanya dinikmati oleh media besar. Media lokal dibuat miskin dan hanya bisa mengemis kepada pemerintah,” ungkap Mandagi.
Ia juga menilai bahwa konstituen Dewan Pers telah menjadi alat oligarki yang merusak esensi kemerdekaan pers. Mereka membuat peraturan internal yang diskriminatif, agar organisasi pers yang kritis dan idealis tersingkir dari proses pemilihan anggota Dewan Pers.
“Peraturan tentang konstituen Dewan Pers tidak disusun oleh organisasi-organisasi pers sebagaimana diatur dalam UU Pers, sehingga tidak mengikat. Maka, pemilihan anggota Dewan Pers harus dikembalikan kepada seluruh organisasi pers berbadan hukum di Indonesia,” tegas Mandagi.
Faktanya, Dewan Pers telah membentuk Badan Pekerja Pemilihan Anggota Dewan Pers secara sepihak dan menjalankan mekanisme rekrutmen terbuka tanpa mandat dari organisasi pers sebagaimana diatur Pasal 15 Ayat (3) UU Pers. Hal ini yang menurut SPRI menjadi landasan kuat untuk menolak hasil pemilihan.
Mandagi mengungkapkan bahwa SPRI telah menyampaikan surat resmi kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk menunda dan mengevaluasi penetapan anggota Dewan Pers periode 2025–2028. SPRI meminta Presiden mempertimbangkan kembali seluruh proses yang telah berjalan karena dianggap tidak sah secara hukum dan mencederai semangat reformasi pers nasional.
“Sejarah penyusunan UU Pers jelas menyebutkan bahwa kewenangan memilih anggota Dewan Pers sepenuhnya diserahkan kepada organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Bukan oleh elit yang mengatur berdasarkan kepentingan segelintir pihak,” pungkas Mandagi.
Jika suara protes ini terus diabaikan, SPRI berencana menggugat proses pemilihan Dewan Pers ke jalur hukum dan menggalang dukungan dari ribuan media lokal di seluruh Indonesia. Sementara itu, harapan kini berada di tangan tokoh bangsa seperti Busyro dan Komaruddin, apakah mereka akan memilih tetap bertahan atau mundur demi menjaga martabat dan integritas mereka. (Tim/***)













