Oleh: IB
Patrolihukum.net, Probolinggo – Belakangan ini muncul pernyataan-pernyataan dari sejumlah pihak yang mengatasnamakan Papdesi (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia), yang dinilai menyudutkan keberadaan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Tanggapan ini kemudian menimbulkan keresahan dari kalangan masyarakat sipil yang menilai bahwa Papdesi telah melenceng dari tugas pokok dan fungsinya.

Padahal, secara prinsip, Papdesi dibentuk untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraan aparatur pemerintah desa serta mendorong pembangunan desa yang inklusif. Bukan untuk berkonflik atau memusuhi eksistensi LSM, yang juga memiliki peran penting dalam sistem demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang bersih.
“Ngapain harus takut dengan LSM kalau kinerjanya baik?” ujar seorang tokoh masyarakat dengan nada tegas. Pernyataan itu menggarisbawahi bahwa ketakutan terhadap LSM seringkali lahir dari rasa tidak nyaman terhadap transparansi dan akuntabilitas.
Dalam sistem demokrasi, LSM merupakan perpanjangan tangan dari partisipasi publik. Mereka berfungsi sebagai kontrol sosial dan turut mengawasi jalannya roda pemerintahan, termasuk di tingkat desa. Keberadaan mereka dilindungi oleh undang-undang dan tidak bisa semena-mena dibungkam atau dipertanyakan legalitasnya hanya karena menyuarakan kritik.
Akan menjadi ironi jika aparatur desa yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip pelayanan publik justru menganggap LSM sebagai musuh. Sikap demikian dikhawatirkan mencerminkan ada yang ditutupi, atau pekerjaan yang tidak dijalankan dengan benar.
Jika pemerintahan desa bekerja sesuai aturan—terbuka, jujur, dan bertanggung jawab—maka LSM bisa menjadi mitra yang strategis. Mereka bisa membantu mengawasi pengelolaan dana desa, memastikan program pembangunan tepat sasaran, hingga memperkuat peran serta masyarakat dalam pembangunan desa.
Tak hanya Papdesi yang diingatkan, Inspektorat pun mendapat sorotan. Lembaga ini seharusnya kembali ke khittah-nya sebagai pengawas independen yang menjaga integritas pelaksanaan pemerintahan. Bukan hanya menjadi lembaga administratif yang bekerja setengah hati karena tekanan dari kelompok tertentu atau karena takut kehilangan “keuntungan” pribadi.
Inspektorat harus menjadi penjaga marwah konstitusi. Kehormatan institusi ini terletak pada keberaniannya menegakkan kebenaran, bukan kedekatannya dengan kekuasaan. Jangan biarkan ketakutan akan kehilangan fasilitas atau pengaruh membuat pengawasan menjadi tumpul.
Uang negara yang dikelola oleh pemerintahan desa adalah uang rakyat. Artinya, pertanggungjawaban atas penggunaannya harus dilakukan secara terbuka dan jujur. Tidak ada ruang untuk menyimpang, apalagi menjadikan dana desa sebagai lahan memperkaya diri.
Semua pihak, baik Papdesi, LSM, maupun Inspektorat, seharusnya saling menopang demi terciptanya pemerintahan desa yang bersih, transparan, dan berpihak pada masyarakat. Jangan saling mencurigai atau menjatuhkan, karena hal itu hanya akan merugikan rakyat yang seharusnya dilayani.
Sudah saatnya semua pihak mengingat kembali esensi dari pelayanan publik: bukan untuk memperkaya diri, tapi untuk mengabdi. Bila semua pihak menjalankan tugasnya dengan integritas dan keberanian moral, tidak akan ada lagi ketakutan—yang ada hanyalah kepercayaan dari rakyat.
Published: Edi D