Catatan Politik Senayan – Oleh: Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI / Ketua MPR RI ke-15 / Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia tercatat mengalami ribuan kasus korupsi yang diperkirakan merugikan negara hingga ribuan triliun rupiah. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan lemahnya efek jera dari sistem hukum yang ada, tetapi juga menunjukkan betapa besar jumlah aset negara yang kini berada di tangan para koruptor.

Masyarakat yang peduli pada pemberantasan korupsi tentu telah mencermati gelembung kerugian tersebut. Mega kasus seperti korupsi di tubuh Pertamina, yang ditaksir menyebabkan kerugian negara hingga Rp 193,7 triliun hanya dalam satu tahun (2023), membuka mata publik. Jika dihitung sejak modus itu dimulai pada 2018, total kerugian negara dari kasus ini saja bisa mencapai hampir Rp 1.000 triliun.
Belum lagi skandal PT Timah yang diperkirakan merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Jika dijumlah dengan berbagai kasus lain, wajar jika banyak kalangan meyakini kerugian negara akibat korupsi selama sepuluh tahun terakhir menembus angka ribuan triliun rupiah.
Namun ironisnya, jeratan hukum berupa hukuman penjara tampaknya belum efektif membasmi praktik korupsi. Data KPK hingga 2024 menunjukkan penanganan 2.730 perkara korupsi selama periode 2020–2024. Fakta ini memperkuat pandangan bahwa Indonesia belum memiliki strategi hukum yang cukup kuat untuk memberikan efek jera.
Salah satu solusi yang kini mengemuka adalah upaya merampas aset para koruptor. Sebuah langkah strategis dan populis, yang bisa mengembalikan kerugian negara serta mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan. Namun, langkah ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Harus ada landasan hukum yang jelas dan kuat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, terutama oleh aparat penegak hukum.
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset sebenarnya telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Namun, pembahasannya masih tertahan karena belum adanya pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, yang rencananya akan mulai berlaku pada 1 Januari 2026.
Mengapa KUHP baru menjadi syarat penting? Karena KUHP saat ini, yang sudah berlaku lebih dari 44 tahun, dinilai belum mengakomodasi prinsip-prinsip hukum modern. KUHP lama belum sepenuhnya melindungi hak individu yang berhadapan dengan hukum dan masih membuka celah besar untuk abuse of power oleh aparat. Prinsip-prinsip penting seperti keadilan restoratif, rehabilitatif, dan restitusi menjadi bagian dari KUHP baru yang diharapkan bisa memperkuat kepastian hukum sekaligus mencegah kriminalisasi dan penyalahgunaan wewenang.
Kekhawatiran publik bukan tanpa alasan. Pada Desember 2024, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis kepada 15 pegawai Rutan KPK karena melakukan pemerasan terhadap tahanan, dengan nilai pungli mencapai Rp 6,3 miliar. Praktik ini berlangsung selama empat tahun sejak 2019. Fakta ini memperlihatkan bahwa sekalipun di institusi antikorupsi, penyimpangan masih bisa terjadi.
Bayangkan jika wewenang merampas aset negara yang nilainya ratusan miliar atau triliunan rupiah berada di tangan aparat yang tidak steril dari potensi penyalahgunaan kekuasaan. Risiko kompromi nilai aset, manipulasi laporan, bahkan pemerasan dalam proses penyitaan sangat mungkin terjadi. Misalnya, jika nilai aset sesungguhnya Rp 100 miliar tetapi “ditaksir” hanya Rp 10 miliar, maka negara tetap dirugikan, dan celah korupsi baru justru tercipta.
RUU Perampasan Aset sangat dibutuhkan. Namun, pelaksanaannya harus ditopang oleh KUHP baru yang memberi panduan moral, etika, dan hukum kepada para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Tanpa itu, RUU ini bisa menjadi pedang bermata dua—di satu sisi menegakkan keadilan, di sisi lain membuka peluang kejahatan baru.
Kita tentu tidak ingin perjuangan melawan korupsi justru dirusak oleh para penegak hukum itu sendiri. Maka, kehadiran KUHP baru menjadi pra-syarat fundamental agar pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset berjalan di atas rel keadilan dan kepastian hukum yang benar.
Saatnya negara bertindak tegas, namun juga berhati-hati. Jangan sampai semangat memberantas korupsi malah memunculkan wajah baru dari korupsi itu sendiri. Harapan rakyat sederhana: uang negara kembali, hukum ditegakkan, dan keadilan tak lagi bisa dibeli.
Semoga KUHP baru segera diberlakukan dan menjadi fondasi kokoh bagi pengesahan RUU Perampasan Aset. Negara harus hadir untuk menegakkan keadilan yang sesungguhnya.
(Edi D/**)