Dalam kancah geopolitik Timur Tengah yang penuh ketegangan, Iran telah lama menjadi rival Amerika Serikat dan sekutunya. Wilayah udara Iran menjadi fokus perhatian, terutama dalam kaitannya dengan potensi intervensi militer. Pada tahun 2024, wacana serangan Israel terhadap Iran kembali mengemuka, meningkatkan ketegangan di kawasan.
Iran mengandalkan sistem pertahanan udara berbasis darat, drone, dan rudal balistik sebagai bagian dari strategi pencegahannya. Namun, Iran juga memiliki armada jet tempur yang menjadi komponen kunci dalam pertahanan udara, termasuk MiG-29 buatan Soviet yang mengoperasikan sekitar 35 pesawat. Peran MiG-29 ini penting dalam mempertahankan wilayah udara Iran, terutama ketika ancaman regional semakin meningkat.

Sejarah militer udara Iran dimulai setelah Revolusi Islam 1979. Hubungan diplomatik Iran dengan Uni Soviet mulai membaik pasca wafatnya Pemimpin Tertinggi Ruhollah Khomeini pada 1989. Keakraban ini memungkinkan Iran menerima sejumlah besar persenjataan, termasuk MiG-29.
MiG-29 memiliki kecepatan maksimum 2.400 kilometer per jam dan jangkauan operasional hingga 1.500 kilometer, menjadikannya pesawat yang efektif untuk pertahanan udara jarak jauh. Ditenagai oleh dua mesin RD-33, pesawat ini memiliki kemampuan manuver yang baik, yang sangat penting dalam pertempuran udara. MiG-29 juga mampu membawa berbagai senjata, termasuk rudal udara-ke-udara R-73 dan R-27.
Namun, meski secara teknis MiG-29 menawarkan keunggulan, teknologi yang usang membatasi kemampuannya dalam menghadapi pesawat tempur modern Israel. Sistem navigasi dan komunikasi MiG-29 belum dimodernisasi, yang menjadi tantangan dalam menghadapi sistem persenjataan Barat yang lebih canggih.
(Edi D/Red/**)
















