Patrolihukum.net, Sukabumi, Jawa Barat – Kasus dugaan intimidasi terhadap seorang jurnalis di Sukabumi yang dilakukan oleh oknum karyawan PT. Bogorindo Cemerlang, menuai sorotan tajam dari Ketua Forum Pers Independent Indonesia (FPII) Jawa Barat, Jaya Taruna. Ia menilai bahwa meski kasus ini telah diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif, aspek perlindungan terhadap profesi jurnalis tidak boleh diabaikan.
Insiden intimidasi ini bermula dari aktivitas jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis berinisial AS, yang mempertanyakan legalitas perizinan camping ground milik PT. Bogorindo Cemerlang. Setelah pemberitaan tersebut terbit, pembangunan lokasi tersebut dihentikan karena diketahui belum mengantongi izin resmi dari instansi terkait.

Namun, tindakan jurnalistik tersebut justru berujung pada ancaman yang dikirimkan melalui aplikasi WhatsApp oleh dua oknum security perusahaan, masing-masing berinisial AT dan CA. AS pun melaporkan insiden itu ke Polsek Cibadak. Pada Kamis, 19 Juni 2025, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai di hadapan penyidik dengan pendekatan keadilan restoratif.
Meski demikian, Jaya Taruna menggarisbawahi bahwa upaya damai tersebut tidak serta-merta menghapus dimensi pelanggaran hukum yang lebih besar. Menurutnya, tindakan intimidatif yang menghalangi kerja jurnalistik bukan hanya melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tetapi juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang ancaman hukumannya bisa mencapai empat tahun penjara.
“Kita hormati upaya damai dengan pendekatan keadilan restoratif. Namun, ini bukan sekadar perkara pribadi. Ada profesi jurnalis yang dilindungi undang-undang. Jika ancaman terhadap jurnalis dibiarkan begitu saja, ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers,” ujar Jaya Taruna saat diwawancarai pada Sabtu, 21 Juni 2025.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa intimidasi terhadap jurnalis bukanlah persoalan yang bisa dianggap sepele. Terlebih dalam kasus ini, pemberitaan AS justru membantu membuka mata publik terhadap dugaan pelanggaran izin pembangunan oleh pihak perusahaan.
“Karena pemberitaan itulah publik jadi tahu bahwa perusahaan belum punya izin. Ini justru membuktikan fungsi kontrol media berjalan dengan baik. Tapi sayangnya, balasannya adalah ancaman,” lanjut Jaya.
Jaya juga mengkritisi lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku-pelaku intimidasi terhadap jurnalis. Ia meminta aparat penegak hukum agar tetap memproses kasus ini secara objektif dan tidak hanya berhenti di meja damai. Menurutnya, jika tidak ada sanksi tegas, maka praktik ancaman terhadap jurnalis bisa kembali terulang di masa mendatang.
“FPII sudah banyak menangani kasus serupa. Kami akan kawal terus prosesnya. Negara harus hadir untuk melindungi jurnalis dari praktik intimidatif seperti ini,” tegasnya.
Di akhir pernyataannya, Jaya Taruna kembali menekankan bahwa kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi. Intimidasi terhadap jurnalis, apalagi dalam konteks kerja jurnalistik yang sah, merupakan ancaman nyata terhadap hak publik untuk memperoleh informasi yang benar dan transparan.
FPII Jawa Barat juga menyerukan kepada semua pihak, baik swasta maupun pemerintah, agar menghormati dan melindungi kerja-kerja jurnalis. Ia berharap kasus ini menjadi pelajaran penting agar semua pihak lebih bijak dalam menyikapi kritik dan sorotan media.
Sumber: Eric – FPII Jawa Barat
Pewarta: Tim Redaksi MPH