Patrolihukum.net — Selama periode 1999-2002, Amandemen UUD 1945 dianggap sebagai hasil campur tangan Barat, terutama di bawah kendali Amerika Serikat (AS) melalui National Democratic Institute (NDI) yang dipimpin oleh Madeleine Albright. Namun, setelah lebih dari dua dekade, justru China yang tampak menikmati keuntungan terbesar dari perubahan ini. Hal ini mencerminkan kecanggihan strategi smart power yang diterapkan oleh Xi Jinping melalui berbagai program seperti Silk Road atau yang lebih dikenal dengan Belt and Road Initiative (BRI). Dengan pendekatan panda, program ini menawarkan berbagai bentuk bantuan seperti utang dan kebijakan Dwi Kewarganegaraan.
Xi Jinping juga menerapkan konsep lebensraum atau teori ruang hidup dalam Geopolitik dan Geostrategi BRI, yang menargetkan kebutuhan dasar manusia seperti kesehatan, digitalisasi, dan infrastruktur di berbagai belahan dunia.

Sebenarnya, AS sangat memahami dinamika ini. Sebagai respons, AS menyebarkan propaganda dan narasi tandingan, baik online maupun offline, untuk membentuk opini publik seolah-olah China adalah pelaku utama di balik amandemen UUD 1945. Salah satu contoh adalah perubahan sikap para pendukung setia Jokowi menjelang akhir masa jabatannya, yang mencerminkan upaya untuk menahan gerakan kembali ke UUD 1945. Kaum neoliberal (neolib) ini berupaya menghambat atau membatasi agar gerakan tersebut tidak berkembang pesat, dengan menggunakan taktik yang mirip dengan tendangan pisang dalam sepak bola.
Hal ini disebabkan karena UUD hasil Amandemen, beserta berbagai peraturan turunannya, memberikan keuntungan besar dan kemudahan bagi pihak asing dan swasta untuk mengeksploitasi sumber daya negara secara berlebihan (lihat Pasal 33 Ayat 4 UUD NRI 1945). Bahkan, beberapa ulama yang mendukung konsep negara tanpa partai dianggap bagian dari upaya kaum neolib untuk menghambat gerakan kembali ke UUD 1945.
Indonesia saat ini masih menjadi medan tempur (proxy war) antara AS dan China. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa upaya China atau narasi tandingan AS akan tetap terkendali. Ada kemungkinan bahwa sebelum 20 Oktober 2024, saat Pelantikan Presiden RI, terjadi kekacauan politik (riot). Kedua negara adidaya ini tidak memiliki metode kontrol yang efektif terhadap agen proksi mereka masing-masing.
Selain itu, banyak isu strategis global yang harus ditangani, seperti konflik Ukraina-Rusia yang belum berakhir, perang Israel-Palestina yang semakin meluas, bangkitnya aktor non-negara di Timur (Hamas, Hizbullah, Houthi, dll), ketegangan di Semenanjung Korea, ketegangan antara China dan Taiwan, serta konflik di Laut China Selatan yang belum menemukan solusi akurat.
Mencermati kondisi global yang tidak pasti ini, muncul persepsi umum bahwa turbulensi politik di Indonesia sejalan dengan kondisi global. Konflik lokal merupakan bagian dari konflik global, yang sudah menjadi hal umum dalam dunia geopolitik.
Namun, berdasarkan berita dari ‘UTARA’, periode 2024-2029 merupakan Era Babat Alas bagi bangsa Indonesia menuju Indonesia Emas 2045 alias Indonesia Mercusuar Dunia. Semangat ini harus tertanam kuat di benak setiap anak bangsa dan menjadi kekuatan batin di alam bawah sadar.
**Bangkitlah bangsaku!**
(Redaksi)