MALANG, Patrolihukum.net — Sejumlah perusahaan penyalur pekerja migran Indonesia (PMI) menyampaikan kegelisahan mendalam terkait kebijakan baru pemerintah yang mewajibkan peningkatan setoran modal deposito dari Rp1,5 miliar menjadi Rp3 miliar. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Permen KP2MI) Nomor 1 Tahun 2025.
Bagi perusahaan skala besar, tambahan modal mungkin bisa dipenuhi, tetapi bagi perusahaan kecil dan menengah yang selama ini menjadi tulang punggung penempatan PMI, kebijakan ini dinilai sangat memberatkan. Bahkan, ancaman gulung tikar kini menjadi bayangan nyata.

“Modal Rp1,5 miliar saja sudah sangat berat bagi kami. Jika dinaikkan menjadi Rp3 miliar, apalagi bagi perusahaan yang ingin menargetkan lebih dari satu wilayah penempatan, sudah pasti banyak yang akan tutup,” ujar seorang pengurus asosiasi perusahaan penyalur PMI yang enggan disebutkan namanya, Selasa (2/9/25).
Latar Belakang Aturan Baru
Kebijakan deposito modal ini tidak hanya menaikkan jumlah setoran, tetapi juga membagi wilayah penempatan PMI ke dalam tiga zona besar:
- Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Taiwan, China) – Regulasi ketenagakerjaan ketat, biaya tinggi untuk dokumen dan kontrak kerja internasional.
- Asia Tengah (Kazakhstan, Uzbekistan, Kirgizstan, Tajikistan) – Biaya administratif besar untuk visa dan dokumen kerja.
- Asia Tenggara (Malaysia, Singapura, Thailand) – Meski lebih dekat, tetap membutuhkan biaya akomodasi, kontrak bilateral, dan perlindungan hukum.
Pemerintah berdalih, deposito yang lebih besar menjadi jaminan agar perusahaan mampu melindungi PMI ketika terjadi persoalan hukum, asuransi, atau darurat. Dana deposito ini dapat dicairkan bila perusahaan gagal memenuhi kewajiban.
Keluhan Pelaku Usaha
Meski niat pemerintah untuk memperkuat perlindungan PMI dapat dipahami, para pelaku usaha menilai kebijakan ini tidak realistis. Minimnya masa transisi serta tidak adanya skema bertahap membuat perusahaan kecil menjerit.
“Kebijakan ini justru menghilangkan peran perusahaan kecil yang sudah berkontribusi besar selama ini. Bukannya meningkatkan perlindungan, aturan ini malah bisa menutup peluang kerja bagi ribuan PMI,” tambah sumber tersebut.
Kondisi ini, kata mereka, bisa berakibat berkurangnya jumlah penempatan PMI melalui jalur resmi, yang berisiko mendorong meningkatnya praktik penyaluran ilegal.
Belum Ada Respons Pemerintah
Hingga berita ini diturunkan, pemerintah belum memberikan tanggapan resmi terhadap keluhan para pengusaha. Namun, berbagai asosiasi perusahaan penyalur mendesak agar kebijakan ini ditinjau ulang dengan mempertimbangkan kondisi nyata di lapangan.
Mereka mendorong adanya dialog antara pemerintah, DPR, dan pelaku usaha untuk mencari jalan tengah. Revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI yang kini dalam proses legislasi dinilai sebagai momentum tepat untuk menyerap aspirasi.
Harapan Revisi Aturan
Para penyalur berharap pemerintah bisa menerapkan sistem proporsional, misalnya dengan penyesuaian modal deposito berdasarkan skala usaha dan wilayah penempatan. Dengan demikian, perlindungan PMI tetap terjaga tanpa mengorbankan keberlangsungan usaha.
“Jika kebijakan diterapkan terlalu kaku, maka dampaknya bisa justru kontraproduktif. Perlindungan PMI tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan ribuan perusahaan skala kecil yang selama ini membantu pemerintah,” tegas pengurus asosiasi itu.
Dengan pendekatan yang lebih inklusif, diharapkan industri penempatan PMI tetap sehat, pekerja migran terlindungi, dan kepentingan nasional tetap terjaga.
(Edi D/PRIMA)