Patrolihukum.net // Jakarta – Dugaan pelecehan seksual terhadap seorang wartawati di Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, kembali menggugah perhatian publik. Peristiwa memilukan tersebut melibatkan oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial SK, yang menjabat sebagai Kepala Bidang Kelautan dan Perikanan pada Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya.
Korban, seorang jurnalis wanita berinisial LY, melaporkan bahwa dirinya mengalami pelecehan saat menjalankan tugas jurnalistik. Menurut penuturan LY kepada Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, SK diduga telah beberapa kali mengajaknya ke hotel untuk melakukan hubungan di luar batas etika dan hukum. LY yang merupakan seorang muslimah taat dan berhijab, dengan tegas menolak ajakan tak senonoh tersebut.

Perilaku tidak pantas dari pejabat publik ini sontak menuai kecaman keras. Dalam keterangannya kepada media pada Jumat, 30 Mei 2025, Wilson Lalengke menyampaikan keprihatinan mendalam dan menyebut tindakan SK sebagai bentuk kebiadaban yang tidak dapat ditoleransi, terlebih datang dari seorang pejabat pemerintah.
“ASN itu diseleksi secara ketat, termasuk aspek moral dan integritasnya. Maka ketika ada oknum pejabat seperti SK melakukan pelecehan kepada wartawati, itu sama saja mencoreng wajah institusi dan mengkhianati kepercayaan rakyat,” ujar Wilson, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012.
Wilson secara tegas mendesak SK untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Ia juga meminta aparat penegak hukum, khususnya Polres Kota Sorong, agar segera memproses laporan yang telah dilayangkan oleh LY secara transparan dan tuntas. “Saya minta Kapolres Sorong segera menindaklanjuti laporan korban. Jangan biarkan kasus ini menguap begitu saja. Ini soal martabat perempuan dan etika pejabat publik,” katanya.
Dalam riset yang pernah dilakukan sebuah media nasional, disebutkan bahwa lebih dari 86 persen wartawati mengalami pelecehan dalam bentuk verbal maupun non-verbal ketika melaksanakan tugas jurnalistik. Banyak di antaranya berasal dari narasumber laki-laki yang memiliki posisi strategis, seperti pejabat atau pemimpin institusi. Hal ini diperparah oleh ketimpangan relasi kuasa antara wartawati dan narasumber.
Menanggapi konteks ini, Wilson menambahkan bahwa kekuasaan tidak boleh digunakan untuk menyalahgunakan posisi terhadap pihak yang lebih lemah. “Kita tidak bisa membiarkan pejabat publik bermental cabul terus bercokol di kantor pemerintah. Rakyat tidak pantas membiayai hidup pejabat bermoral rusak seperti itu,” kecamnya.
Wilson juga menyerukan kepada Gubernur Papua Barat Daya untuk segera mengevaluasi posisi SK dan mempertimbangkan penggantian jika terbukti bersalah. “Rakyat sudah lelah dengan tingkah pejabat tak bermoral. Jangan sampai institusi pemerintah menjadi tempat berlindung para pelaku pelecehan,” tambahnya.
Kasus ini kini memasuki perhatian publik yang lebih luas, dan menjadi sorotan sejumlah aktivis perempuan, organisasi pers, serta masyarakat sipil. Mereka berharap penegakan hukum dan sanksi administratif dilakukan tanpa pandang bulu agar kejadian serupa tidak kembali terulang di kemudian hari.
Kasus ini menjadi momentum penting bagi institusi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman, menghargai perempuan, dan bebas dari kekerasan seksual dalam bentuk apa pun. (APL/Red/**)