Patrolihukum.net — Sebuah kisah menyentuh hati kembali viral di media sosial dan grup percakapan. Kisah tersebut berasal dari sebuah ruang kelas kuliah yang dipenuhi mahasiswa-mahasiswa berkeluarga. Di dalamnya, seorang profesor menyampaikan pelajaran yang tidak akan pernah terlupakan oleh siapapun yang menyaksikannya. Pelajaran tentang siapa sebenarnya sosok yang paling berharga dalam hidup—dan siapa yang akan benar-benar tetap tinggal hingga akhir perjalanan.
Cerita itu berawal saat sang profesor meminta salah satu mahasiswa untuk maju ke depan dan menuliskan sepuluh nama orang terdekat dalam hidupnya. Tanpa berpikir panjang, mahasiswa itu menuliskan nama-nama seperti orang tua, istri, anak, saudara kandung, sahabat, dan rekan kerja. Suasana masih terasa santai dan penuh senyuman.

Namun, ketegangan mulai terasa saat sang profesor meminta mahasiswa tersebut untuk mencoret tiga nama dari daftar. Tugas itu mungkin tampak sederhana, tetapi maknanya begitu dalam. Dengan perlahan, mahasiswa itu mencoret nama-nama yang mungkin tidak terlalu dekat secara emosional.
Langkah demi langkah, sang profesor terus meminta untuk mencoret nama-nama berikutnya, hingga akhirnya hanya tersisa tiga nama: ibu, anak, dan istri.
Ruangan menjadi sunyi. Tak seorang pun yang berani berbicara. Semua tahu, ini bukan sekadar permainan. Ketika sang profesor meminta mahasiswa itu untuk mencoret satu nama lagi, waktu terasa berhenti. Dengan gemetar, mahasiswa itu akhirnya mencoret nama ibunya. Air matanya mulai menggenang. Namun, profesor belum berhenti.
“Silakan coret satu nama lagi,” kata profesor dengan suara tenang, tapi mengguncang hati.
Mahasiswa itu tampak semakin bimbang. Tangannya bergetar, pikirannya kalut. Dalam diam, ia akhirnya mencoret nama anaknya. Saat itulah, air matanya pecah. Ia menangis di hadapan teman-teman sekelasnya. Kesedihan tak hanya dirasakannya seorang diri, tetapi juga oleh seluruh ruangan.
Profesor bertanya, “Mengapa kamu memilih istrimu? Bukankah orang tua adalah yang membesarkanmu, dan anak adalah darah dagingmu? Bukankah istri bisa dicari lagi?”
Dengan suara lirih dan tersendat air mata, mahasiswa itu menjawab, “Orangtua saya akan pergi meninggalkan saya suatu saat nanti. Anak saya pun akan tumbuh besar, menikah, dan meninggalkan saya. Tapi istri saya… dia adalah satu-satunya yang memilih untuk tetap tinggal, bahkan ketika hidup ini terasa sangat berat.”
Ia melanjutkan, “Orangtua dan anak adalah anugerah dari Tuhan. Tapi istri? Istri adalah pilihan saya. Dari miliaran wanita di dunia, saya memilih dia. Dan dia juga memilih saya.”
Kisah ini seakan menyadarkan banyak orang akan makna terdalam dari pernikahan. Bahwa ikatan pernikahan bukan hanya soal legalitas atau tradisi, melainkan tentang pilihan sadar untuk saling mendampingi dalam suka dan duka, hingga maut memisahkan.
Di tengah derasnya arus perceraian dan egoisme dalam rumah tangga, kisah ini menampar banyak hati. Betapa sering pasangan dilupakan nilainya, padahal merekalah yang terus bertahan di samping kita ketika dunia mulai meninggalkan.
Satu pesan sederhana dari kisah ini adalah: hargailah pasanganmu. Karena dalam perjalanan panjang kehidupan, merekalah yang akan tetap menggandeng tanganmu ketika semua orang telah pergi.
Penulis: Story Wanita
Editor: Edi D