Patrolihukum.net, BOJONEGORO – Proses pengisian perangkat desa (Perades) di Desa Kadungrejo, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro, makin terang-benderang menunjukkan adanya indikasi permainan busuk yang melibatkan oknum elite lokal. Aroma kecurangan kian menyengat setelah Kepala Desa sendiri, Slamet Riyanto, secara tersirat mengakui bahwa proses tersebut tidak sepenuhnya steril dari intervensi dan manipulasi.
Dalam konfirmasi kepada awak media, Kades Kadungrejo secara terbuka menyembunyikan identitas universitas yang ditunjuk sebagai pihak ketiga pembuat soal ujian Perades. Alasannya? Untuk menghindari “lobi-lobi kepentingan”.

Sebuah pernyataan yang justru membuka ruang spekulasi liar tentang adanya aktor-aktor yang hendak “bermain belakang”.
Pernyataan tersebut justru mengindikasikan bahwa pihak desa menyadari ada potensi kecurangan, dan memilih untuk merahasiakannya ketimbang membuka proses ini ke publik demi akuntabilitas.
Sikap seperti ini sangat tidak etis dan tidak bisa dibenarkan dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik.
Lebih menggelikan lagi, ketika polemik ini dikonfirmasi kepada Camat Baureno, Derry, sang camat justru memberikan dua pernyataan berbeda dalam waktu yang nyaris bersamaan.
Awalnya normatif sekadar akan mengecek sesuai tahapan perda namun kemudian berubah menjadi pembelaan bahwa semua proses sudah sesuai regulasi.
Pertanyaan publik pun mencuat Mengapa Camat bersikap ambigu dan tidak tegas? Apakah benar-benar tidak tahu menahu, atau justru sedang bermain aman agar tidak terseret lebih dalam?
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Bojonegoro, Machmudin, bukannya memberikan klarifikasi tegas, malah melempar tanggung jawab balik ke Camat.
Pernyataannya seolah ingin mengatakan “jika ada masalah, itu bukan di ranah kami, tapi kecamatan yang bertanggung jawab”
Asumsi Publik Menguat Ada Dugaan Calon Pesanan
Masyarakat setempat dan sejumlah tokoh mulai meyakini bahwa proses Perades ini tidak murni, tidak adil, dan sarat kepentingan. Isu calon “titipan” makin santer terdengar, terlebih ketika informasi soal pihak ketiga (penyusun soal) ditutup rapat-rapat.
Padahal, dalam proses seleksi perangkat desa yang ideal, transparansi adalah harga mati. Kerahasiaan dalam konteks yang tidak jelas justru memunculkan tafsir bahwa ada upaya menyembunyikan sesuatu.
Tanggung Jawab Pemerintah Dipertanyakan
Baik Camat maupun PMD seolah hanya saling lempar tanggung jawab, tanpa ada langkah konkret untuk memastikan proses seleksi berjalan bersih. Ketidaktegasan, inkonsistensi jawaban, dan sikap defensif justru makin memperkuat dugaan bahwa praktik kotor dalam seleksi perangkat desa telah menjadi pola sistemik.
Jika benar pihak kecamatan dan dinas terkait mengetahui adanya kejanggalan tapi tetap membiarkannya, maka mereka telah lalai dan patut diduga turut melanggengkan praktik nepotisme dan kolusi di tingkat desa.
Kegaduhan di Kadungrejo bukan sekadar konflik administratif, tetapi menjadi cermin buruk wajah birokrasi desa yang masih dikuasai elit lokal yang cenderung otoriter dan tidak transparan.
Situasi ini sudah sepatutnya ditangani oleh lembaga independen, aparat penegak hukum, dan pengawas publik. Jangan sampai Perades Kadungrejo hanya menjadi contoh dari sekian banyak proses seleksi perangkat desa yang dikendalikan dengan pesanan, titipan, dan kompromi gelap.
Jika tak ada tindakan tegas, maka publik bisa menyimpulkan: telah terjadi pembiaran sistemik terhadap kecurangan dalam rekrutmen perangkat desa oleh pihak desa, kecamatan, dan dinas kabupaten.
Dalam negara hukum, diamnya penguasa adalah bentuk lain dari pembenaran terhadap pelanggaran. Dan jika kecurangan ini benar terjadi, maka semua pihak yang terlibat atau membiarkannya harus dipertanggungjawabkan secara moral, administratif, bahkan hukum. (Edi D/Red/**)