LAMONGAN,Patrolihukum.net — Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Lamongan Tahun Anggaran 2025 kembali memantik sorotan tajam. Data terbaru Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) yang masuk per 5 Desember 2025 menunjukkan adanya anomali besar pada pendapatan daerah serta seretnya penyerapan belanja, yang menimbulkan pertanyaan serius mengenai kualitas perencanaan dan pengelolaan anggaran pemerintah setempat.
Anomali paling mencolok terdapat pada pos Retribusi Daerah. Realisasinya tercatat mencapai Rp 240,15 miliar, jauh melampaui target yang hanya Rp 18,62 miliar. Dengan demikian, pencapaian retribusi menembus 1.289,41%, atau surplus sebesar Rp 221,53 miliar dari target awal—sebuah angka luar biasa yang jarang terjadi dalam tata kelola fiskal daerah.

Kondisi ini menuai kritik karena menunjukkan dua kemungkinan serius:
- Kelalaian fatal dalam penginputan data keuangan publik, atau
- Perencanaan pendapatan yang disengaja dibuat sangat rendah, yang berpotensi menyesatkan publik terkait kredibilitas APBD.
Sementara itu, realisasi Belanja Daerah juga menjadi sorotan. Hingga awal Desember, serapan belanja baru mencapai 76,42%, atau Rp 2,49 triliun dari total anggaran Rp 3,26 triliun. Artinya, terdapat Rp 768,67 miliar dana pembangunan yang belum terserap menjelang tutup tahun anggaran.
Serapan rendah ini berpotensi besar membuat berbagai program pelayanan publik, pembangunan infrastruktur, serta kegiatan strategis di Lamongan tidak terselesaikan tepat waktu. Ekonomi lokal juga dinilai berisiko stagnan karena anggaran yang idealnya menggerakkan sektor produktif tidak benar-benar beredar di masyarakat.
Pada saat yang sama, pos Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah terpuruk dengan realisasi hanya 19,33% dari target. Dari pagu Rp 352,83 miliar, pemerintah daerah baru mampu mengumpulkan Rp 68,20 miliar, menyisakan selisih sebesar Rp 284,63 miliar potensi pendapatan yang hilang.
Para analis anggaran menilai kondisi tersebut dapat menjadi indikator lemahnya kinerja pengumpulan PAD serta minimnya akurasi perencanaan fiskal Pemkab Lamongan.
Di sisi lain, data SIKD juga mencatat adanya surplus realisasi anggaran sebesar Rp 391,57 miliar, yang muncul dari selisih Pendapatan (Rp 2,88 triliun) dan Belanja (Rp 2,49 triliun). Namun surplus tersebut dipandang sebagai “surplus semu”, karena bukan lahir dari efisiensi, melainkan dari belanja yang gagal dieksekusi sesuai rencana pembangunan daerah.
Surplus semacam ini berpotensi menambah angka Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) yang menumpuk dari tahun ke tahun. Alih-alih menggerakkan ekonomi atau meningkatkan layanan publik, dana tersebut justru mengendap dan tidak memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
Sejumlah pihak menilai bahwa Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) sebagai pihak teknis perencanaan dan pelaksana APBD harus memberikan klarifikasi resmi kepada publik. Transparansi dinilai krusial untuk menjelaskan:
- Alasan terjadinya lonjakan anomali retribusi hingga 1.289,41%.
- Penyebab gagalnya pencapaian target Lain-Lain PAD yang Sah (19,33%).
- Mengapa serapan Belanja Daerah tertinggal Rp 768,67 miliar dari rencana awal.
- Dampak keterlambatan realisasi belanja terhadap sektor strategis seperti kesehatan, pendidikan, pelayanan dasar, hingga pembangunan infrastruktur.
Kondisi ini, sebagaimana tercatat dalam data periode Januari–Desember 2025 yang diterima SIKD per 5 Desember, mencerminkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap perumusan APBD, mekanisme penyerapan kegiatan, serta koordinasi antar-SKPD.
Publik kini menunggu langkah tegas Pemkab Lamongan untuk mengurai anomali tersebut secara terbuka, demi memastikan bahwa anggaran daerah kembali dijalankan sesuai prinsip akuntabilitas, efektivitas, dan manfaat nyata bagi masyarakat.
(Edi D/Tim Redaksi Prima)
























