Oleh: Dzulfahmi (Koordinator Wilayah BEM PTNU DIY)
Patrolihukum.net — Komunikasi publik yang efektif merupakan kunci utama dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam sebuah negara demokrasi. Namun, di Indonesia, kita sering menyaksikan pejabat publik yang merespons kritik dengan sikap arogan dan merendahkan, yang justru mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi.

Beberapa waktu terakhir, pola komunikasi buruk dari pejabat tinggi negara semakin terlihat jelas, tidak hanya mencerminkan ketidakmatangan dalam berdialog, tetapi juga menunjukkan sikap anti-kritik yang membahayakan stabilitas demokrasi.
A. Pejabat yang Meremehkan Kritik Publik
Salah satu bentuk komunikasi pejabat yang arogan dapat dilihat dalam beberapa insiden, di antaranya:
- Hasan Nasbi dan Respons Terhadap Pers
Sebagai Kepala Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi semestinya bertanggung jawab menjadi penghubung antara pemerintah dan masyarakat. Namun, ketika ditanya wartawan mengenai insiden pengiriman kepala babi ke kantor Tempo, ia malah menjawab dengan candaan yang tidak pantas: “Dimasak saja.” Pernyataan ini mencerminkan ketidakseriusan dalam menangani ancaman terhadap kebebasan pers. - Luhut Binsar Pandjaitan dan Aksi “Indonesia Gelap”
Gerakan “Indonesia Gelap” muncul sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Namun, bukannya memberikan argumen substantif, Luhut justru menanggapi kritik tersebut dengan perkataan kasar, “Mukamu yang gelap.” Sikap ini menunjukkan ketidakpedulian terhadap keresahan masyarakat dan memperlebar jurang antara pejabat dengan rakyat yang mereka wakili.
B. Dampak Buruk Arogansi Pejabat terhadap Demokrasi
Respons pejabat yang merendahkan kritik masyarakat membawa dampak serius terhadap stabilitas politik dan sosial di negara kita. Ada tiga dampak utama yang perlu diperhatikan:
- Merosotnya Kepercayaan Publik
Ketika pejabat meremehkan suara rakyat, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan berkurang. Kebijakan pemerintah semakin sulit diterima oleh publik, karena masyarakat merasa bahwa aspirasi mereka tidak dihargai atau diperhitungkan. - Meningkatnya Polarisasi dan Ketegangan Sosial
Komunikasi pejabat yang buruk hanya akan memperburuk ketegangan di masyarakat. Mereka yang merasa suaranya tidak didengar akan semakin frustrasi, yang pada gilirannya dapat memicu polarisasi yang lebih tajam dan ketegangan sosial yang lebih besar. - Kemunduran Demokrasi dan Menguatnya Otoritarianisme
Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang untuk kritik dan diskusi terbuka. Ketika pejabat terbiasa merespons kritik dengan sikap merendahkan, ini bisa menjadi pertanda kemunduran demokrasi dan beralihnya sistem pemerintahan menuju otoritarianisme.
C. Perlunya Evaluasi Komunikasi Pejabat Publik untuk Demokrasi yang Lebih Sehat
Untuk mencegah kemunduran ini, sejumlah langkah perlu segera diambil, di antaranya:
- Pejabat Publik Harus Mengedepankan Etika Komunikasi
Kritik adalah bagian dari kehidupan demokrasi. Pejabat seharusnya merespons kritik dengan bijaksana, profesional, dan tidak emosional. Mereka harus belajar untuk menerima kritik sebagai masukan yang berguna. - Pemerintah Harus Lebih Transparan dan Akuntabel
Jika kritik semakin sering muncul, itu menandakan adanya masalah yang perlu diperbaiki. Pemerintah harus terbuka dalam menjelaskan kebijakan yang mereka ambil dan lebih mendengarkan suara rakyat. - Media dan Masyarakat Harus Terus Kritis
Media massa dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawasi komunikasi pejabat publik. Kita harus memastikan bahwa sikap arogan ini tidak menjadi budaya yang diterima begitu saja. Kritik yang konstruktif harus terus disuarakan untuk menjaga agar pejabat tetap responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
D. Saatnya Pejabat Publik Berbenah
Sebagai negara demokrasi, Indonesia seharusnya menjunjung tinggi dialog terbuka antara pemerintah dan rakyat. Ketika pejabat mulai kehilangan kepekaan dalam berkomunikasi, itu adalah tanda bahaya bagi masa depan demokrasi kita. Masyarakat berhak memiliki pemimpin yang dapat berkomunikasi dengan bijaksana dan menghargai setiap kritik yang diberikan, bukan pemimpin yang merendahkan rakyat mereka.
Sudah saatnya pejabat publik melakukan evaluasi diri dan memahami bahwa kritik bukanlah ancaman, tetapi merupakan masukan berharga yang dapat digunakan untuk membangun negara yang lebih baik. (**)
(Muhammad Faisal Dzulfahmi: Koordinator Wilayah BEM PTNU DIY)