Patrolihukum.net // Tuban – Dugaan praktik pungutan liar (pungli) di Satuan Penyelenggara Administrasi (Satpas) Surat Izin Mengemudi (SIM) Polres Tuban kini tengah menjadi sorotan publik. Sejumlah warga yang hendak mengurus SIM, baik permohonan baru maupun perpanjangan, mengeluhkan adanya pungutan tambahan di luar ketentuan resmi.
Keluhan tersebut mengemuka setelah para pemohon mengaku tetap diminta untuk mengurus ulang surat keterangan sehat melalui seorang dokter tertentu, meski telah membawa surat dari fasilitas kesehatan resmi seperti puskesmas.

“Saya sudah bawa surat kesehatan dari puskesmas di tempat tinggal saya. Tapi tetap disuruh minta stempel lagi dari Dr. Hartono dan dikenai biaya Rp15 ribu,” ungkap salah satu pemohon yang meminta identitasnya dirahasiakan, Kamis (6/6/2025).
Ia menyebutkan, biaya tambahan tersebut dibebankan kepada hampir seluruh pemohon SIM yang datang, tanpa ada sosialisasi atau penjelasan tertulis dari pihak Satpas. Prosedur ini pun dinilai menambah beban masyarakat yang sudah berupaya mengikuti jalur resmi dalam pengurusan SIM.
Menanggapi hal tersebut, praktisi hukum sekaligus pengamat kebijakan publik, Dhony Irawan HW, SH, MHE, angkat bicara. Ia menyayangkan terjadinya praktik yang dianggap menyimpang dari aturan perundang-undangan.
“Surat keterangan sehat memang menjadi syarat administratif pengajuan SIM, baik baru maupun perpanjangan. Tapi tidak ada satu pun regulasi yang mewajibkan pemohon harus mendapatkan surat dari dokter atau fasilitas kesehatan tertentu,” tegas Dhony kepada media.
Ia menilai, jika benar pemohon SIM dipaksa menggunakan jasa dokter tertentu yang disertai pungutan tambahan, maka hal itu masuk dalam kategori penyimpangan prosedur dan berpotensi menjadi praktik pungli yang melanggar hukum.
“Pak Kapolri harus tahu bahwa di tubuh institusi Polri, khususnya di Satpas Polres Tuban, perlu dilakukan pembenahan serius. Jangan sampai masyarakat yang ingin mengurus SIM secara legal justru dipersulit dengan praktik-praktik seperti ini,” tegasnya.
Tidak hanya soal surat kesehatan, Dhony juga menyoroti kenaikan biaya tes psikologi untuk pengajuan SIM yang terjadi secara diam-diam. Sebelumnya, biaya tes psikologi berada di angka Rp100.000,- namun belakangan melonjak menjadi Rp125.000,- tanpa adanya pemberitahuan resmi.
“Naiknya biaya ini tanpa sosialisasi dan tidak transparan. Ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian, karena masyarakat merasa tidak diperlakukan dengan adil,” tambahnya.
Kasus ini menjadi salah satu contoh betapa pengawasan terhadap layanan publik di sektor kepolisian masih perlu diperkuat. Masyarakat berharap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo turun tangan melakukan evaluasi mendalam terhadap operasional Satpas SIM di daerah, khususnya di Tuban.
“Jika tidak ada tindakan tegas, ini akan menjadi preseden buruk. Masyarakat akan merasa lebih nyaman menggunakan jalur calo atau jalan pintas karena merasa dipersulit secara resmi,” pungkas Dhony.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Satpas Polres Tuban belum memberikan keterangan resmi atau tanggapan terkait dugaan pungli dan penyimpangan prosedur yang disorot oleh publik.
Pemerhati layanan publik dan aktivis antikorupsi di Tuban pun menyerukan agar Ombudsman Republik Indonesia serta Divisi Propam Polri segera turun melakukan investigasi guna memastikan kebenaran informasi yang berkembang di masyarakat.
(Edi D/Red/**)