Penuh Khidmat, Kepala Desa Ledok Ombo Bersama Ribuan Warga Ikuti Ritual Adat Tengger Unan – Unan

Patrolihukum.net // Sumber, Probolinggo —- Tradisi / adat istiadat suku tengger yang namanya Unan – Unan adalah warisan budaya suku Tengger yang ada di kawasan Gunung Bromo. Tradisi Unan-unan Suku Tengger di Kawasan Gunung Bromo di Probolinggo masih lestari. Dari sembilan Desa di Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo hanya 4 (empat) Desa yang menggelar ritual sakral untuk tolak balak yang namanya Unan – Unan, yakni Desa Wonokerso, Sumber Anom, Ledok Ombo dan Pandansari. Selasa (23/4/2024) pagi.

Dok. kepala desa Ledok Ombo Masaendi bersama warga ikuti ritual di sanggar pamujan

Ribuan warga Suku Tengger yang melaksanakan acara Unan – Unan ini mengenakan pakaian hitam dengan selempang sarung membawa sejajen untuk dibawa ke sanggar pamujan. Para Dukun, Tokoh Masyarakat dan Agama bersama warga berkumpul jadi satu dijalanan desa untuk mengarak kepala kerbau.

Dalam kesempatam ini, Kepala Desa Ledok Ombo, Masaendi menjelaskan ke awak media patrolihukum.net, bahwa tradisi Unan-Unan merupakan kegiatan adat istiadat yang harus dilestarikan dan dirangkul dengan bagus, mengingat Unan-Unan merupakan titik temu masyarakat Suku Tengger. Dikatakan, bahwa generasi muda harus ikut menjaga kelestarian budaya yang ada di Desa Ledok Ombo, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo. Tradisi Unan – Unan ini sendiri dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.

“Unan-Unan ini bukan acara keagamaan, namun adat-istiadat yang harus dilestarikan,”

Lebih lanjut Kades Masaendi juga mengatakan Unan-unan ini tradisi gotong royong warga dalam menolak balak dari sang pencipta. Sehingga, Suku Tengger antusias sekali untuk mengikutinya.

“Unan-unan ini warisan leluhur kami dan harus dilestarikan,” ungkapnya Kades Masaendi.

Dok. Arak arakan warga bersama kepala desa Ledok Ombo Masaendi

Di akhir upacara Adat Unan-Unan, Kades Ledok Ombo Masaendi bersama tokoh agama dan tokoh masyarakat beserta masyarakat mengikuti arak-arakan Jodang (tempat makanan sesaji) dan membawa kepala kerbau yang di arak bersama-sama menuju Punden Sanggar Agung, untuk dilaksanakan ritual penanaman kepala kerbau dan do’a bersama.

Reporter: Edi D

Penuh Khidmat, Ribuan Warga Hadiri Haul Akbar KHM. Damanhuri Romly Ke-23 di P5 PZH Genggong Probolinggo

Patrolihukum.net // Pajarakan, Probolinggo —- Ribuan warga dari berbagai penjuru hadiri Haul Akbar KHM. Damanhuri Romly ke-23 yang dilaksanakan di Area P5 PZH Genggong pada hari Selasa (02/01/2024) Malam. Meski ramai dengan ribuan warga yang hadir dalam acara ini, acara tetap berjalan penuh khidmat dan tentram.

Haul kali ini merupakan haul ke-23. Beliau wafat pada 18 Jumadil Ula 1422 Hijriyah, bertepatan dengan 8 Agustus 2001 dalam Kalender Masehi.

Banyak pelajaran penting yang dapat dipetik dari kisah dan perjalanan hidup KH. Muhammad Damanhuri Romly. Selain dikenal memiliki pribadi lemah lembut, ulama kelahiran Jombang ini dikenal mudah bergaul dengan semua orang tanpa pandang bulu.
KH Muhammad Damanhuri Romly, atau yang biasa dikenal dengan julukan Kiai Damanhuri, lahir di Jombang, pada Senin Kliwon, 6 Jumadil Ula 1365 Hijriah. Bertepatan dengan 8 April 1946 Masehi.
Beliau merupakan putra dari pasangan Nyai Khodijah bin KH Luqman Suwaru Mojowarno Jombang dan KH Muhammd Romly Tamim bin KH Tamim Irsyad, pendiri sekaligus Pengasuh Ponpes Darul Ulum Jombang.

Dalam pantauan awak media ini, Haul Akbar KHM. Damanhury Romly juga dihadiri oleh wakil Gubernur Jatim Emil Dardak, Pj Bupati Probolinggo Ugas Irwanto dan juga Jajaran TNI-Polri Probolinggo.

Kiai Damanhuri ini rupanya juga sangat mencintai pendidikan. Meski hidup dan dibesarkan di lingkungan pesantren yang pekat dengan ajaran agama, Kiai Damanhuri tidak pernah alergi pada pendidikan dan pengetahuan umum.

Terbukti, sosok yang selama hidupnya mengasuh ratusan santri yatim piatu dan kurang mampu ini, menyandang gelar sarjana di salah satu kampus Malang, Jawa Timur. Menikah dengan Ning Sus, Menetap di PZH Genggong Tak lama setelah menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi, kiai dengan lima bersaudara itu akhirnya menikah dengan putri dari KH. Hasan Saifouridzal, Pengasuh Ponpes Zainul Hasan Genggong, yakni Nyai Hj. Diana Susilowati atau yang akrab dipanggil Ning Sus.

Sejak pernikahan yang berlangsung pada 1973 itu, KH Damanhuri pun menetap dan hidup bersama di lingkungan PZH Genggong, Desa Karangbong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo.

Dari pernikahan itu, Kiai Damanhuri dan Nyai Susilowati dikaruniai tiga buah hati. Yaitu Gus dr. Muhammad Haris Damanhuri (Gus Haris), Gus Irsyad Syamsuddin, dan Gus Lukman Qoyduddin Hasanal Bolkiyah.

Dari situlah, perjalanan hidup putra Pendiri Pesantren Darul Ulum Jombang, dimulai. Perbedaan budaya dan bahasa antara Probolinggo dan Jombang, tak membuat beliau kerepotan untuk beradaptasi. Justru kondisi tersebut menuntut Kiai Damanhuri untuk lebih banyak bersosialisasi dengan banyak masyarakat di Probolinggo.

Berbekal pengetahuan dan kepribadiannya yang lemah lembut, Kiai Damanhuri dengan cepat disukai banyak kalangan. Kelembutan hati dan tutur kata yang lemah lembut itu membawa Kiai Damanhuri diterima di berbagai kelompok masyarakat.

Tak heran jika beliau ia dikenal masyarakat sebagai sosok yang mudah bergaul dengan siapapun tanpa pandang bulu. Kiai Damanhuri mudah dekat dengan siapapun, baik itu para kiai, pejabat, pengusaha ataupun rakyat kecil di pelosok-pelosok desa.

Hal ini membuat Kiai Damanhuri diterima dan dicintai oleh banyak orang. Salah satu sifat yang sangat menonjol darinya adalah sifat rendah hati, pemaaf dan pemurah.

Pernah suatu Ketika, sepulang dari Majelis Khususiyah di daerah Jember, Kiai Damanhuri berpapasan dengan seseorang yang terlihat memprihatinkan di pinggir jalan. Pakaiannya yang compang camping, dan kondisi fisik yang tak karuan itu membuat Kiai Damanhuri menghentikan laju kendaraannya.
Kemudian keluar dari mobil yang dikendarainya, dan menghampiri orang tersebut.

Tanpa pikir panjang, beliau langsung mengeluarkan seluruh uang yang ada di kantong bajunya, dan menyerahkannya pada orang tak dikenal tersebut. Kiai Damanhuri pun pulang ke rumah tanpa membawa sepeser uang pun.

Keadaan ini tak hanya terjadi sekali atau dua kali saja. Khadim (julukan santri yang mengabdi, Red) yang selalu bersama beliau, menjadi saksi keanehan itu terulang berkali-kali. Tak hanya di sekitar jalanan Probolinggo, tapi juga banyak terjadi di luar Probolinggo.

Mendirikan Pondok Damanhuri Romly Selama hidup di Bumi Rengganis ini, Kiai Damanhuri juga banyak aktif di berbagai organisasi dan kelembagaan.

Di PZH Genggong, Kiai Damanhuri antara lain pernah tercatat sebagai Sekretaris Yayasan Pendidikan Pesantren Zainul Hasan, Kepala MA Zainul Hasan, dan Ketua STIH Zainul Hasan.
Akan halnya sang ayah, Kiai Damanhuri juga tak jauh dari tarekat. Beliau pernah menjadi Ketua Jam’iyah Ahlit Thariqah Muktabarah Indonesia atau JATMI berdasarkan hasil Muktamar ke-VII JATMI di Pondok Gede Jakarta, 10-13 September 1998.

Dari padatnya aktifitas itu, beliau sempat mendirikan dan mengasuh ratusan santri anak-anak yatim piatu dan fakir miskin bersama Nyai Hj. Diana Susilowati. Hingga kini pesantren itu pun masih berdiri tegap dengan nama Pondok Damanhuri Romly.

Reporter: Edi D

Penuh Khidmat, Kades Ledok Ombo Masaendi Bersama Warga Suku Tengger Rayakan Hari Raya “KARO”

Sumber, Probolinggo // Patrolihukum.net — Merayakan hari raya “KARO” tahun saka 1945/2023 Masehi, Kepala Desa Ledok Ombo Masaendi bersama warga suku tengger laksanakan ritual adat dan hadirkan Tayub Ala Tengger di Desa Ledok Ombo, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo, Jatim. Minggu (05/08/2023) malam

Hari Raya “KARO” atau Yadnya Karo merupakan hari raya ke dua setelah Kasada alias bulan kedua dari 12 bulan menurut kalender Suku Tengger. Perayaan “KARO” menjadi lambang asal mula kelahiran manusia sehingga berbagai rangkaian Upacara “KARO” wajib dilakukan oleh masyarakat adat Suku Tengger di Desa Ledok Ombo.

Masaendi Kepala Desa Ledok Ombo saat ditemui awak media Patrolihukum.net, seusai kegiatan menjelaskan bahwa, “Perayaan “KARO” dimulai dengan Prepekan atau pembukaan, Mbesan Duata dan Tayub pada malam harinya. Hari ke dua dilakukan sesanti yang diawali pemberangkatan Punden dan Mbatek Tumpeng Gede di kediaman Kepala Desa.

“Diawali dari tayub pada malam hari, paginya pemberangkatan punden dilanjutkan ke rumah Kepala Desa mbatek tumpeng gede setelah itu mengikuti romo dukun melakukan sesanti,” jelas Kades Masaendi.

Rangkaian Perayaan “KARO” Suku Tengger dilanjutkan dengan Andon Mangan atau budaya saling berkunjung dan menjamu tamu dengan sajian khas Desa Ledok Ombo.

“Setelah sesanti tidak boleh ada hiburan agar tidak mengganggu kekhidmatan masyarakat melakukan andon mangan atau bergantian makan, masyarakat saling sowan (berkunjung) meskipun sedikit sesuap harus tetap dilakukan, ini diwajibkan,” terangnya.

Puncak Perayaan “KARO” dilakukan Nyadran atau Sadranan yang artinya ruwah syakban dalam bahasa jawa. Tradisi ini masyarakat melakukan tabur bunga ke makam leluhur yang diawali dengan pemberangkatan Sadranan dari rumah Romo Dukun menuju makam yang diiringi Jaran Kencak & Tabuan Ketepong.

Sebagai tanda syukur Pemerintah Desa (Pemdes) dan masyarakat Suku Tengger Desa Ledok Ombo menyajikan berbagai hiburan masyarakat seperti Jaran Kencak, Ujung, Jaran Kepang dan Tayub Ala Tengger . Tutur Kades Masaendi

“Ucap rasa syukur acara dari awal sampai akhir bisa berjalan dengan aman dan lancar itu karena semua pihak dari masyarakat Suku Tengger Desa Ledok Ombo bisa bersama sama untuk mensukseskan acara ini,” katanya.

Harapan Masaendi selaku kades Ledok Ombo akan terus menjaga dan melanjutkan tradisi adat Desa Ledok Ombo, untuk kedepannya ingin warganya hidup nyaman dan sejahtera. Pungkas Kepala Desa Ledok Ombo Masaendi

Pewarta: Odik

Publisher: Edi D

Tidak Ada Lagi Postingan yang Tersedia.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.